Terbawa-bawa oleh semaraknya kompetisi
di liga sepak bola negara-negara Eropa, membawa imbas ke tanah air khususnya di
Bali. Dimana-mana orang ngomongin tentang bola, bola dan bola, lengkap engan
skor serta bintang-bintangnya. Dari liga Ingris, Spanyol, Italia, Jerman,
Belanda, dll. Namun sangat jarang mereka membicarakan tentang liga sepak bola
tanah air. Mungkin kurang menarik kali.
Semaraknya dunia sepak bola di televisi,
menyebabkan anak-anak jadi keranjingan main bola. Saat itu datanglah beberapa
orang anak memainkan bola sepak di jaba Pura Maspahit. Di sana ada Man Upik,
Yan Miko, Yan Kisin, De Landep, De Arab, Yan Dika, Gung Dewa, Gus Tra, Gus De,
Patrik “si timor”, Si Katon yang berdarah Jawa. Mereka menyebut diri sebagai klub
MU, kepanjangan dari “Maspahit United”. Bermainlah mereka bersama di Jaba Pura
dengan menggunakan bola plastik. Seru, memang seru pertandingan anak-anak itu.
Semangat, memang semangat. Anak anak itu girang bermain sepak bola, tak perduli
panas menyengat. Keringat dan debu menyatu melapisi kulit mereka. Kegirangan
anak-anak itu menjelang sore hari disaksikan oleh para orang tua mereka, yang
turut senang melihat anak-anak mereka riang gembira bermain sepak bola.
Permainan mereka memang cukup lumayan
bagus, meniru gaya para pemain dunia yang tiap minggu disaksikan di televisi.
Gaya tendangan, gaya menangkap bola, gaya ngekop bola, dan bahkan gaya ketika
selebrasi atau merayakan gol kemenangan. Pokoknya sudah bergaya pemain dunia
“tak mau jadi pemain Indonesia”. Sayang sekali, sama sekali tak ada kebanggaan
terhadap persepakbolaan Indonesia.
Ketika sedang ramai-ramainya main bola,
lalu datag Bu Dayu mencari Gus De dan Gus Tra. Bu Dayu melihat anaknya sedang
bermain bola dengan anak-anak yang lainnya. Kedua anak itu lalu dipanggil dan
disuruh pulang, karena hari udah menjelang sandikala. Ketika itu pula permainan
anak-anak berakhir dan bubar. Sejatinya Gusde, Gustra dan anak yang lain agak
kesal ketika pertandingan berhenti. Namun apa boleh buat, mereka tak berani
menentang orang tua.
Setelah sampai di rumah atau di griya, Gustra
dan Gus De diberitahu oleh ibunya agar jangan sering-sering bermain sepak bola.
Karena apa? Sebab Gustra dan Gusde adalah keturunan brahmana atau seorang Ida
Bagus. Sebab ketika bermain, bola ditendang secara bergantian dari kaki ke kaki
mereka, lalu dikop oleh Gustra dan Gusde. Sebagai seorang Ida Bagus, jangan
ngekop bola, sebab itu bekas kaki dari
pemain lainnya. Demikian arahan dari Ibu Dayu yang sedikit fanatik dengan
“soroh”.
Mendengar pengarahan tersebut, Gustra
menjadi sedikit bingung, lalu berkata. “kalau main bola kan harus di tendang
bolanya, dan kalau tinggi ya dikop dengan kepala. Itu sudah peraturannya
begitu. Kalau tidak boleh ngekop bola ya bagaimana”. Ibunya yang sedikit kolot
namun sangat fanatik itu berkata “ya kalau ada bola melambung, ya jangan di
kop, dan kalau bola melintas di atas kepala ya mesti menghindar atau menjauh”.
Mendengar omongan ibunya, Gustra yang
masih kanak-kanak itu mengerti dan menganggap pendapat ibunya lucu dan tak
masuk akal. Ia pun tertawa cekikikan.
Mendengar omongannya dilecehkan, lalu
Ibu Dayu menjadi sedikit tersinggung, lalu ia berkata ”Kalau Gus tidak mau
mengerti omongan ibu, lebih mulai besok Gustra dan Gusde tidak boleh bermain
bola lagi”
Pembicaraan ibunya itu lalu didengar
oleh Gus Tut (ajik dari Gustra). Gus Tut berkata “Dayu, jangan terlalu serem,
jangan terlalu fanatik atau jangan terlalu kaku. Kalau dalam sepak bola memang
sudah sewajar seperti itu permainannya. Kalau masalah sosial dan fanatisme
dibawa ke dalam permainan, maka permainan tidak akan berlangsung. Pemain yang
bukan dari golongan Ida Baus pun tak bermaksud untuk merendahkan, melecehkan
atau pun membuat rohani kita menjadi cemer. Tidak demikian maksudnya. Biarkan
anak-anak bermain bola sebagaimana mestinya”.
Ia (Gustut) mengingatkan istrinya agar
jangan terlalu fanatik. Sebab jaman sudah berubah, tak seperti jaman feodal
kerajaan terdahulu. Kalau hal itu masih menjadi bahan pikiran, terus bagaimana
kata orang ketika keluarga Ida Bagus masuk ke rumah makan dan menyantap makanan
dengan menggunakan piring, sendok dan gelas. Sendok, piring, dan gelas itu
bukan baru, melainkan sudah sekian orang, dan sekian mulut yang memakai sendok
dan gelas tersebut. Kalau itu masih menjadi pikiran kita, maka kita akan repot
sendiri sebagai keluarga dari golongan Ida Bagus”. Demikian Gus Tut
mengingatkan istrinya.
Lalu Gus Tut melanjutkan pembicaraannya.
“sampai saat sekarang kita mesti bersyukur sebagai keturuan griya. Sebab sampai
sekarang masyarakat masih menghormati serta tak menuntut keluarga griya yang
tak pernah ikut negen wadah saat upacara ngaben. Itu mesti kita hormati niat baik
dan rasa hormat mereka. Jangan mentang-mentang”. Demikian Gus Tut mengingatkan
istrinya agar tak bertindak konyol di masyarakat.
Mendengar omongan tersebut, Gustra dan Gusde
pun merasa lega dan boleh bebas berkiprah di MU (Maspahit United) bersama
teman-temannya. (Ki Buyut/kanduk).
No comments:
Post a Comment