Tahun 1984, Gubernur Bali ketika itu
Profesor Doktor Ida Bagus Mantra telah mengantisipasi akan ancaman bahaya
rabies di Bali. Dasar Pemikirannya adalah masyarakat Bali biasa memelihara anjing,
Bali memuliakan anjing sebagai binatang yang paling dekat dengan kehidupan
manusia Bali. Populasi anjing di Bali ketika itu adalah 4 berbanding 1. Artinya
dalam empat orang manusia terdapat satu ekor anjing. Populasi anjing sangat
banyak dan padat di Bali. Lebih-lebih dengan pola pemeliharaan yang terlepas.
Lalu Sang Gubernur berpikir, seandainya Bali tertular virus Rabies, maka akan
sangat sulit untuk diberantas dan dibebaskan, mengingat populasi anjing begitu
tinggi. Sangat mengkhawatirkan jika benar-benar terjadi. Oleh sebab itu,
Pemerintah Provinsi Bali ketika itu membentuk tim penanggulangan dan pencegahan
penyakit Rabies di Bali yang terdiri dari unsur Dinas Peternakan dalam hal ini
adalah Bidang Kesehatan Hewan, Kepolisian dan Kejaksaan. Seminar nasional
tentang bahaya rabies pun diadakan saat itu.
Tindakan yang dilakukan adalah
mengawasai lalu lintas satua yang keluar masuk Bali, dan mencegah
anjing-anjing, kucing dan monyet luar bali yang masuk ke Bali. Di satu sisi
Sang Gubernur juga mengangkat kekayaan lokal Bali yakni Anjing Kintamani
sebagai anjing Ras Asli Bali. Anjing Bali menjadi salah satu anjing ras dunia.
Balipun terhindar dari Rabies.
Lalu apa yang terjadi kemudian setelah era
Prof. Mantra .......?
Tim pengendali dan penanggulangan rabies
di Bali sejatinya masih masih bekerja. Namun seiring dengan semakin maraknya
perdagangan hewan-hewan piaraan terutama anjing, kucing, dan kera yang
berpotensi menyebarkan penyakit Rabies, maka sekitar awal tahun 1990-an sebuah
tim peneliti secara diam-diam melakukan penelitian terhadap anjing-anjing yang
ada di Bali. Suatu hal yang sangat mengejutkan didapat, bahwa dari sampel darah
anjing yang diambil dan dites secara serologi, ternyata menunjukkan antibodi
yang positif terhadap rabies. Tetapi karena tim peneliti baru hanya sebatas
serologis, artinya tidak sampai pada menemukan gejala klinis pada hewan dan
tidak berhasil mengisolasi virus rabies pada anjing, maka hasil penelitian
tersebutt dinyakatan sebagai “positif palsu”. Artinya hasil menunjukkan sesuatu
yang positif namun belum bisa dibuktikan secara klinik dan virologi.
Hasil yang menghentakkan dunia peneliti tersebut
mengindikasikan bahwa jejak-jejak “teror rabies” sudah terdeteksi, cuman belum
diketahui keberadaannya. Apakah “sang teroris” rabies memang sudah ada di Bali,
atau cuman jejaknya saja. Maksudnya adalah adanya antibodi yang terdekteksi
secara serologis tersebut bisa jadi karena anjing sampel tersebut pernah
mendapatkan vaksinasi di daerah lain. Dengan asumsi bahwa anjing sampel
tersebut adalah anjing selundupan yang berhasil masuk ke Bali. Sehingga anjing
tersebut dalam darahnya mengandung antibodi, tetapi tak membawa virus (
“positif palsu”).
Dalam perkembangan selanjutnya, lalu-lintas
hewan di Bali sudah sepertinya tak terkendali, banyak anjing luar masuk ke Bali,
banyak komunitas anjing ras terbentuk. Sejalan dengan itu, muncul rabies.
Nah….. barulah kemudian semuanya terhenyak. Kok bisa….? Darimana datangnya….?
Siapa yang bawa…? Lalu bagaimana……? Ini itu….! Lala lele …. ! Bali menyandang
status Kejadian Luar Biasa Rabies. Upaya pun segera dilakukan, namun sampai
saat ini Bali sudah menjadi daerah Endemik Rabies, yang sudah makan banyak
korban manusia.
Panik… panik dan panik. Upaya memang
sudah maksimal dilakukan, namun kejadian Rabies pun tak kalah sengit. Pernah
kita dengar pernyataan dari petinggi di daerah ini mengatakan bahwa dengan upaya
maksimal dari seluruh komponen masyarakat, pemerintah dan aparat, maka tahun
depan targetnya Bali sudah bebas dari Rabies. Demikian kurang lebih katanya
sekitar setahun yang lalu.
Mendengar pernyataan itu, penulis
menjadi berpikir. Kok sungguh percaya diri sekali Si Bapak mengatakan Rabies
dapat dituntaskan dalam waktu satu tahun. Padahal berdasarkan literatur yang
pernah penulis baca dahulu ketika menulis karya ilmiah tentang Rabies, dikatakan
bahwa perlu waktu bertahun-tahun untuk membebaskan suatu daerah dari penyakit Rabies.
Bahkan di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika memerlukan waktu puluhan
tahun untuk membebaskan sebuah wilayah dari rabies.
Pada awal tahun ini banyak bertebaran
spanduk bertuliskan vaksinasi masal
rabies. Lalu terdengar pula mengenai pemetaan wilayah dengan membagi ke
dalam wiilayah zona maerah, lalu zona-zona bukan merah. Lalu secara tak sengaja
penulis menemukan bahwa di zona merah yang dimaksud belum dilakukan vaksinasi
rabies pada anjing. Lho… bagaimana ini, zona merah aja belum ada tindakan
vaksinasi, bagaimana dengan zona yang tidak merah?
Lalu belakangan terdengar kabar,
keterlambatan itu terjadi karena factor klasik seperti birokrasi keuangan.
Alasan lainnya adalah tenaga kurang, pabrik
vaksin tidak mampu memenuhi permintaan daerah Bali. Maaka atas dasar alasan
tersebut terjadilah perlambatan (bukan diam) yang terkesan sebuah pembiaran. Namun
belakangan kemudian sudah dilakukan vaksinasi, namun sifatnya masih sporadic.
Kembali pada pernyataan sang petinggi
daerah tentang membebaskan rabies tahun depan (maksudnya tahun 2015 ini) “Bali
akan bebas”. Bebas dari apa?. Rabies terus menyeruak, rabies terus makan
korban. Beberapa hari yang lalu (di bulan September 2015) sang petinggi daerah berkomentar
di surat kabar dengan menyalahkan masyarakat. Konon katanya masyarakat tidak
sadar-sadar akan bahaya rabies. Pernyataan ini didasari atas adanya beberapa masyarakat
yang tak mengikat anjingnya sehingga berkeliaran lalu mengigit. Sang pemimpin
mulai mencari kambing hitam. Kambing hitamnya justru rakyatnya sendiri.
Sedangkan yang perlu dilakukan oleh pemimpin adalah sudahkah instruksinya dilaksanakan
oleh bawahannya? Sudahkan adaya evaluasi terhadap pola kerja yang dilakukan
selama ini? Sudahkah ada terobosan yang dilakukan untuk menanggulangi masalah
ini? Sebelum mencari kambing hitam. Anehnya lagi yang dikeluhkan adalah masalah
dana yang sudah banyak dikeluarkan untuk menanggulangi rabies. Apakah sudah
tepat sasaran? Ujug-ujug menyalahkan masyarakat atas kepanikan si bapak.
Pola
PEMILU
Selama ini memang kita apresiasi upaya
dari pemerintah daerah bersama pihak terkait yang sudah melakukan upaya-upaya,
salah satunya adalah vaksinasi masal. Pola vaksinasi terjadwal dari satu tempat
ke tempat yang lain, demikian seterusnya. Dengan pola seperti ini memberikan
peluang terjadi perpindahan hewan dari satu daerah yang belum divaksinasi ke
daerah yang sudah divaksinasi. Hal ini mengingat lalu lintas hewan di Bali
sangat tinggi baik di kalangan para penghobi, maupun pergerakan hewan itu
secara tersendiri. Apalagi anjing yang tertular rabies, anjing tersebut akan
bergerak terus tanpa henti, tanpa tujuan, sambil jalan sambil mengigit sampai
akhirnya anjing tersebut menemui ajalnya.
Oleh sebab itu, kalau boleh usul, perlu
kiranya dipertimbangkan pola Pemilihan Umum (PEMILU) seperti yang diselenggarakan
oleh KPU. Yakni dengan cara vaksinasi masal secara serempak di seluruh Bali
dalam satu hari. Tak boleh maju atau tak boleh mundur, tak boleh ditunda atas alasan
apapun. Untuk menggunakan pola ini, perlu proses pengkondisian sarana,
prasarana, serta komponen pendudkung lain, serta tenaga. Pemerintah beserta
dengan seluruh jajaran terkait melakukan persiapan matang sebagaimana layaknya
menyelenggaraan pemilu.
Yang
perlu disiapkan adalah
1). Data Populasi Anjing / DPA (kalau
pada pemilu namanya Daftar Pemilih Tetap / DPT). Data ini didapat dengan cara
mengerahkkan para kepala Dusun / Lingkungan untuk mendata anjing yang ada di
banjar atau dusun masing-masing. Dari sini diketahui berapa jumlah populasi
anjing dan sebarannya yang nantinya terkait dengan jumlah logistik yang akan
disediakan.
2). Menyiapkan tenaga vaksinator atau
pelaksana vaksinansi. Untuk tenaga ini disarankan melatih beberapa orang yang
ada di setiap banjar/dusun. Ini mirip dengan perekrutan petugas TPS saat
pemilu.
3). Tenaga rekrutan ini dilatih untuk melaksanakan
vaksinasi rabies, serta pencatatan secukupnya. Pelatihan ini mesti dilakukan di
tiap Kecamatan oleh instansi terkait. Sama halnya dengan Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK) memberikan bintek pemilu kepada pertugas di PPS dan TPS saat
Pemilu.
4). Logistik. Logistik yang dimaksud
adalah semua peralatan, bahan serta perlengkapan administrasi yang dibutuhkan
ketika melakukan vaksinasi sesuai dengan jumlah anjing yang akan divaksinasi.
Hal ini mirip dengan Komisi Pemilihan Umum menyediakan logistik untuk
pemunggutan suara di masing-masing TPS.
5). Penyebaran Logistik. Logistik disebar
ke seluruh kabupaten kota, lalu ke kecamatan, ke desa, lalu di desa ke masing
dusun atau banjar. Hal ini mirip dengan penyebaran kotak suara, surat suara dan
perlengkapan saat diadakan pemilu.
6). Sosialisasi dan Himbauan kepada
masyarakat bahwa akan dilakukan vaksinasi masal pada hari yang sudah
ditentukan. Pastikan kepada masyarakat bahwa anjing-anjing semuanya sudah dalam
keadaan terikat atau dikandangkan satu hari sebelum hari H. Sama halnya dengan
para pemilih yang telah mendapatkan kartu panggilan memilih sehari sebelum hari
pencoblosan.
7). Vaksinasi sesuai dengan tanggal yang
telah ditetapkan. Disarankan untuk melakukan vaksinasi pada hari libur atau
hari minggu, serta memperhitugkan hari dimana tidak banyak masyarakat melakukan
upacara. Dengan harapan partisipasi serta jangkauan sasaran akan lebih maksimal.
Lakukan vaksinasi secara serentak pada jam yang sama, hari yang sama.
Sebagaimana dengan hari pemunggutan suara dalam pemilu. Pada sore hari semua
petugas vaksinator melakukan rekap vaksinasi. Mirip dengan petugas TPS membuat
rekapan kehadiran pemilih berdasarkan Data Pemilih Tetap / DPT. Apabila ada
anjing yang tak tertangani pada hari itu, maka petugas vaksinator hanya
diberikan waktu satu hari lagi untuk menangani anjing yang tak tertangani.
Itupun jumlahnya tak boleh lebih dari satu persen dari jumlah daftar. Hal ini
untuk antisipasi dari tenaga yang menunda kerja.
Metoda ini sangat mungkin dilakukan di
Bali, daripada metode konvensional melalui stamping
out (membantai anjing jalanan yang tak bertuan). Karena metode pembunuhan banyak
mendapat kecaman dari masyarakat. Dipredikis tingkat keberhasilan dari metode
vaksinansi serentak ala PEMILU akan lebih efektif dengan tingkat keberhasilan
98 %. Yang satu persen kuasa Tuhan, yang satu persen lagi ada yang membangkang
dalam pelaksanaannya.
Memang banyak tenaga, banyak biaya dalam
satu kegiatan, namun akan lebih efektif, dan mungkin lebih berhasil. Dibandiing
dengan tugas ini hanya dilakukan oleh Dinas Peternakan dengan para relawan
saja, akan perlu waktu yang lama dan akan berulang. Bagaikan seorang anak
remaja yang memencet jerawat. Pencet di kanan, muncul di kiri. Jadi sulit untuk
tuntas !
Pola yang dibicarakan di atas adalah
penanganan untuk hewan, namun tak menutup kemungkinan pula dilakukan vaksinasi
secara massal terhadap masyarakat, sebagai upaya perlindungan terhadap penyakit
Rabies.
Namun
sebagaimana layaknya di Bali, sekala dan niskala selalu berdampingan. Maka
dalam proses pelaksaan metode ini mesti pula menghaturkan pekeling secara
niskala, memohon waranugraha agar apa yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai
dengan rencana dan berhasil sesuai dengan tujuan.
Kira-kira demikian…. Kurang lebih,
ampura. (DRH. I Nyoman Supatra).
No comments:
Post a Comment