Bracuk tak menyangka dirinya akan mendapat
jodoh seorang gadis dari Denpasar yang merupakan jantung tanah Bali. Gadis kota
yang ia dapatkan berasal dari sebuah desa di kota Denpasar yang menurut
orang-orang terkenal dengan alam niskalanya, terkenal dengan kekuatan
mistiknya. Kalau orang luar bilang, Desa ini memang tenget, ditambah lagi
dengan penduduknya memang serem. Desa ini banyak melahirkan para jawara kanuragan, balian sakti, orang
terkenal, dalang sakti, preman, bahkan sulinggih juga banyak. Artinya desa ini
dikenal angker secara sekala dan niskala. Ternyata Denpasar Kota masih
menyimpan banyak misteri dan mistik.
Nah kini dikisahkan I Bracuk yang
menjadi menantu di desa itu, kerapkali berkunjung ke rumah mertuanya. Ia sudah
tak asing lagi di sana. Senda gurau dengan orang-orang di sana, bahkan sedikit
minum-minum sambil mengakrabkan diri dengan lingkungan. I Bracuk pun sadar
dengan dirinya yang menyunting gadis dari desa yang terkenal angker tersebut.
Ia juga sudah banyak mendengar cerita tentang desa tempat asal istrinya.
Artinya bahwa I Bracuk tak boleh gegabah dengan dirinya. Maka ia berpikir untuk
membekali dirinya dengan sesuatu yang bersifat niskala untuk menjaga diri, melindungi
diri, terhadap hal-hal niskala di gumi tenget di desa mertuanya.
Untuk itu, maka pergilah I Bracuk ke
salah seorang yang menurutnya mumpuni untuk mencari pengraksa jiwa atau
pelindung diri dari kekuatan niskala. Entah ia membeli atau bagaimana, yang
jelas ia diberikan sebuah kalung yang berbentuk caling atau taring oleh sang balian sakti. Rupa kalung itu memang aeng namun artistik. Entah itu terbuat
dari caling macan, tanduk meng atau bisa jadi dari tegil siap (tanduk kaki
ayam). I Bracuk pun diberitahu mengenai segala persyaratan, cara pemeliharaan
agar kekuatannya terjaga, termasuk pula dengan segala pantangannya. Salah satu
pantangannya adalah kalung yang berfungsi sebagai gegemet tersebut tak boleh dipakai
ketika buang hajat atau buang air besar. Karena ketika dipakai buang hajat maka
kalung tersebut kekuatannya akan punah.
Singkat cerita, berbekal gegemet tersebut, I Bracuk sudah merasa
diri handal, yakin dengan keselamatannya, sudah tak kawatir lagi akan adanya
bahaya yang bersifat niskala. Maka dengan keyakinan dirinya, I Bracuk
bertandang ke rumah mertuanya entah pagi, siang, sore, bahkan tengah malam. Ia
pun merasa lebih leluasa bergaul di rumah mertuanya. Namun dengan gegemet
tersebut, I Bracuk menjadi memiliki keyakinan yang berlebihan, I Bracuk semakin
menjadi-jadi, bahkan bicaranya kerapkali tak terkontrol, alias memunyi cah cauh. Mungkin merasa diri
sudah handal dengan gegemet yang diberikan
oleh balian sakti itu.
Setelah sekian lama, kini diceritakan I
Bracuk bertandang ke mertuanya bersendaugurau dengan para ipar dan tetangganya.
Seperti biasa, acara dilanjutkan dengan mekeciran
alias minum-minum. Ketika itu minumannya
adalah tuak. Banyak hal yang dibicarakan alias satua kangin kauh saat itu. I Bracuk orangnya memang suka dengan dunia
niskala, apalagi berbicara masalah dukun alias “balian sakti”, ia banyak tahu
dan banyak omongannya. Sehingga pembicaraan kaingin kauh pada malam hari itu
lebih didominasi oleh cerita yang nyerempet-nyerempet dunia niskala.
Ipar-iparnya yang diajak minum sudah mengingatkan agar jangan terlalu campah
bicara, apalagi masalah niskala. Tapi karena merasa diri handal, maka ia terus saja
ngoceh menyerempet hal-hal gaib.
Sedang asik mereka ngobrol, saat itu I
Bracuk merasakan ingin kencing. Maka bergegas ia ke kamar kecil. Sebelum ke
kamar kecil ia selalu ingat dengan gegemetnya yang ia kenakan tak boleh dibawa
ke kamar kecil. Ia membuka kalung itu lalu digantungkan di sepeda motor dekat
mereka minum. Ketika selesai buang air, kalung itu dipakai kembali.
Yang diajak minum oleh I Bracuk saat itu
adalah I Ketut Crucuk Kuning, I Wayan Blangko, Gung Tut Glalak Glilik, I Wayan Blekok, dan beberapa orang lagi.
Acara minum pun menjadi seru ketika mereka semua sudah agak “on” .
Kini kembali diceritakaan I Bracuk ingin
ke kamar kecil. Ia kembali membuka kalung gegemetnya. Kali ini ia tidak
menggantungkan di sepeda motor tadi, namun menitipkan kepada salah salah
seorang dari mereka yang diajak minum. Ketika keluar dari kamar mandi, ia
kemudian meminta kalungnya kepada temannya. Nah, di sinilah masalah mulai
muncul. Sebab semua temannya yang diajak minum itu tak merasa dititipi kalung gegemet
oleh I Bracuk. Temannya menjadi bingung, siapa yang dititipi, termasuk juga I
Bracuk bingung siapa yang ia titipi. Yang jelas tadi ia tergesa-gesa menitipkan
kepada salah seorang teman minumnya. Maka bingunglah semuanya, siapa yang dititipi.
I Bracuk yang sangat tergantung dengan
gegemetnya tersebut sangat bingung dan sangat merasa kehilangan. Ia meyakini,
gegemet itulah yang bisa melindungi dirinya dari hal-hal negatif yang bersifat
niskala. I Bracuk merasa sangat terikat dengan kalung tersebut. Kalung tersebut
sama dengan jiwanya. Terasa dunia ini runtuh, seolah-olah dirinya tak hidup
lagi. Demikian keyakinannya tentang kalung tersebut. I Bracuk bingung, teman-teman
dan iparnya juga bingung mencarinya di sekitar tempat itu. Semua merasa tak
enak hati dengan kehilangan tersebut. Semua berusaha mencari, namun tak ketemu.
Acara minum yang tadinya enjoy mendadak menjadi tidak enak hati.
Acara yang taddinya happy berubah
menjadi mistik.
Ipar I Bracuk menyarankan untuk dicari
besok pagi, pasti ketemu. Acara minum pun bubar. Namun I Bracuk masih ngomel-ngomel
atas kehilangan, ditambah lagi situasinya setengah mabuk. Teman-teman minum,
ipar dan mertuanya mencoba untuk menenangkan I Bracuk, namun ia tetap saja
gusar sambil ngomel tak karuan. Beberapa lama kemudian, pada tengah malam ia
mencoba kembali ke tempat minum tadi untuk mencari kembali siapa tahu ketemu.
Dan betul saja, barang gegemetnya diketemukan di bataran tugu pengalang-alang dekat mereka minum tadi. I Bracuk
segera mengambil kalungnya. Namun ketika mengambil kalung tersebut, I Bracuk
menerima sebuah bogem mentah yang menyebabkan ia jatuh tersungkur di depan tugu
tersebut. Saat itu tak ada siapa-siapa di sana. Ia mengerang kesakitan. Lalu
datang iparnya menolong. Ia kemudian menceritakan semua niskala yang menimpa
dirinya. Atas kejadian tersebut, acara minum yang tadinya bubar kini berkumpul kembali
ketika mendengar I Bracuk jatuh tersungkur kena pukulan niskala di depan tugu.
Menyaksikan kejadian tersebut kemudian I
Ketut Crukcuk Kuning mengatakan kepada I Bracuk agar besok-besok tidak membawa
barang-barang aneh alias gegemet ke sini. Sebab kita tak tahu apa yang akan
terjadi. Lebih baik kosong-kosong saja, pasti akan aman. Karena Ketut Crukcuk Kuning
meyakini bahwa kekuatan gegemet tersebut pasti akan kontak dengan kekuatan
pelindung niskala di pekarangan ini yakni Ratu Ngurah Penunggun Karang dan Ratu
Ngurah Pengadang-adang. Kalau gegemet itu kelasnya agak kotor atau kasar
pastilah akan mengalami sesuatu di sini. Maka dari itu, agar tak mengalami
hal-hal yang tak diinginkan, lebih baik kosongan, tak akan ada yang mengganggu
secara niskala. Demikian Ketut Crucuk sedikit menasehti I Bracuk yang
dinilainya telah membawa sesuatu yang tak benar ke pekarangan rumahnya, apalagi
bicaranya agak “tegeh”. I Ketut Crukcuk sangat yakin, penunggun karangnya akan
melindungi segenap penghuni rumahnya secara niskala.
Selain itu I Ketut Crukcuk, I Wayan
Blekok dan I Wayan Blangko berbisik bersama Gung Tut Glalak Glilik. Mungkin
saja tadi ketika I Bracuk ke kamar kecil, yang dititipi kalungnya adalah
penghuni tugu atau Ratu Ngurah Pengadang-ngadang yang tampak seperti sosok
manusia untuk mengambil kalung gegemet tersebut. Makanya kalung itu secara aneh
ketemu di bataran pelinggih Ratu Ngurah Pengadaang-ngadang. Sekaligus beliau
memperingati I Bracuk dengan memberikan bogem mentah agar tak bicara cah cauh
serta tak membawa sesuatu yang aneh-aneh ke pekarangan ini.
Melihat kejadian ini I Ketut Crukcuk
Kuning teringat dengan hal niskala yang dialami oleh I Putu Ketimun Guling beberapa
tahun yang lalu. I Putu ini juga bertandang ke sini pada malam hari. Sama
halnya dengan I Bracuk, I Putu memakai kalung gegemet yang konon bekal dari “si
kakek, balian sakti” di kampung halamannya. Dan ketika sampai di depan tugu
tersebut, kalung gegemet yang ia kenakan itu bergetar keras di lehernya. Lalu I
Putu Timun Guling mengurungkan niatnya untuk bertandang ke sana, kawatir
terjadi sesuatu dengan dirinya.
Kini kembali ke cerita I Bracuk. Atas
kejadian malam itu, I Bracuk merasakaan sesuatu yang tak enak di badannya. Ia
merasakan badannya sakit, serta kepalanya agak pening. Ia mengira bahwa hal itu
karena pengaruh mabuk, dan yakin akan hilang dalam satu hari. Namun setelah
beberapa hari, sakit di badaannya masih terasa, demikian juga dengan pening
kepalanya. Termasuk lagi pikirannya agak tak karuan-karuan. Sambil merasakan
sakitnya, kemudian I Bracuk merenung. Ia
teringat dengan kejadian di tugu pada malam hari itu. Entah merasa bersalah
atau bagaimana, I Bracuk berniat memohon ampun bersaranakan pejati di tugu di
tempat ditemukan gegemetnya itu.
Singkat cerita, pejati dihaturkan sambil
memohon ampun atas semua kesalahan, maka keesokan harinya rasa sakit di
badannya mulai berkurang berangsur sembuh. Demikian juga dengan kegalauan
pikirannya mulai sirna. Ia menjadi tenang kembali.
Menyaksikan hal demikian, kembali Gung Glalak
Glilik dan I Wayan Blekok berbisik. “Apang tawange rasane, kaden kenken gumi dini.
Bani bani gen. Macem-macem gen ngabe gegemet teke mai… Haha… “
Atas kejadian yang dialaminya, sekaligus
I Bracuk membuktikan cerita-cerita di luar sana mengenai keangkeran dari desa
asal istrinya. Walaupun di kota.
“Ha…, dunia mistik tak kenal kota atau
desa. Ia akan ada sepanjang masa dengan segala perwujudannya yang selalu
menyesuaikan dengan jaman. Mistik adalah
kekal abadi. Manusia tak akan lepas dari dunia mistik, namun tak bisa semuanya
di-mistik-kan. Sekala niskala adalah dua dunia dengan dimensi yang berbeda,
namun sangat dekat dan saling berhubungan. Maka yang perlu dilakukan adalah
dipahami, diyakini, serta diselaraskan” Demikian Nyoman Pulung-Pulung Ubi mengakhiri
bisik-bisik mereka. (Ki Buyut/Kand.).
No comments:
Post a Comment