Pernah mendengar kisah Ki Dukuh Sakti
Pahang yang diremehkan oleh menantunya yakni I Gusti Ngurah Agung Pinatih di
Kertalangu? Ceritanya begini: Diceritakan di Kertalangu (Badung) ada seorang
pendeta yang bergelar Dukuh Sakti Pahang, keturunan dari Pasek Padang Subadra,
memiliki kesucian bhatin yang tinggi sehingga disebut Dukuh Sakti Pahang. Ki
Dukuh adalah mertua dari penguasa Kertalangu saat itu yakni I Gusti Ngurah
Pinatih keturunan Arya Wang Bang Pinatih. Pada suatu hari, Ki Dukuh
mempermaklumkan kepada menantunya yakni I Gusti Ngurah Pinatih bahwa beliau
sudah waktunya untuk meninggalkan dunii fana ini. Beliau akan menjalankan aji
kamoksan atau kelepasan. Mendengarkan
laporan sang mertua, I Gusti Agung Pinatih menjadi tertawa dan menyangsikan perkataan
mertuanya, dengan ucapan sedikit meremehkan “kalau memang benar moksah, maka
saya akan pergi meninggalkan Kertalangu”.
Merasa diremehkan oleh sang menantu,
maka Ki Dukuh mengucapkan pastu kepada menantunya, bahwa I Gusti Penatih akan
dikerubuti semut, sehingga akan meninggalkan Desa Kertalangu”. Setelah
mengeluarkan kutukan tersbeut, Ki Dujkuh sakti menuju ke tempat dimana beliau
hendak meninggalkan dunia ini (moksa). Sedangkan I Gusti Ngurah Pinatih
mengirim utusan untuk menyaksikan kebenaran dari ucapan mertuanya. Singkat
cerita, apa yang dikatakan oleh Ki Dikuh memang benar terjadi. Lalu hal itu dilaporkan
oleh utusan kepada I Gusti Ngurah Pintah. Singkat cerita, apa yang menjadi
kutukan dari Ki Dukuh segera terjadi. Entah darimana datangnya semut yang tak
terkira jumlahnya mengerubuti tempat tinggal I Gusti Ngurah Pinatih. Tak kuasa
dengan semut yang semakin banyak, maka I Gusti Ngurah Pinatih meninggalkan
Kertalangu menuju daerah lainnya. Di tempat itu juga dikerubuti semut, sampai
akhirnya sampai di Desa Sulang. Di sana beliau tidak mendapatkan ketentraman.
Dalam kehidupan manusia Hindu Bali yang
mengenal pola pemujaan leluhur juga terdapat banyak bhisama yang berkaitan
dengan berkah dan kutukan. Contohnya adapah bhisama Sang Abra Sinuhun sebagai
berikut: "Kamung Pasek mwang Bandesa, aywa lupa ring, kahyangan makadi
ring Lempuyang, ring Besakih, ring Silayukti, mwang Gelgel Dasar Bhuwana. Yan
kita, lupa ring kahyanganta, wastu kita tan anut ring apasanakan, tanwus
amangguh rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, tan wus amangguh rundah,
tan mari acengilan ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan, mangkana,
piteketku ring parati santana, kapratisteng prasasti, sinuhun de kita prasama,
kita tan wenang piwal ring piteketku, ila-ila dahat, aywa lupa, aywa lali, mwah
yan kita pageh ring piteketku, moga tan wus kita amanggihana dirgayusa,
amanggih wirya gunamanta, sidhi ngucap, jannanuraga asihhing Hyang, dibya guna,
susila weruhing naya, mangkana cihanyeng lepihan"
Artinya: "Kamu Pasek dan Bandesa,
jangan melupakan kayangan yakni di Lempuyang (Lempuyang Madya), di Besakih
(pura Ratu Pasek), di Silayukti, dan di Gelgel Dasar Bhuwana. Bilamana kamu
melupakan kayanganmu, agar kamu tidak cocok di keluarga, tidak henti-hentinya
merasa gundah, selalu cekcok dalam keluarga, giat bekerja namun kekurangan
makan. Demikian peringatanku kepada keturunan tercantun di dalam prasasti, harus
dipuja olehmu sekalian. Kamu tidak boleh melanggar pemberitahuanku, sangat
berbahaya, jangan lupa, jangan lalai, dan apabila kamu taat dengan
pemberitahuanku, mudah-mudahan kamu selalu panjang umur, memperoleh kekuatan
dan kepandaian sempurna, ucapanmu, tersohor di dunia, dikasihi Hyang Widhi,
memiliki sifat -sifat yang mulia, berkelakuan baik dan menguasai sifat-sifat
kepemimpinan, demikian tanda-tandanya harus disebarluaskan".
Kalau dicermati dari bhisama di atas
adalah sebuah nasehat kebaikan dari para leluhur yang sisampaikan secar turun
temurun dengan segala berkahnya. Namun dibalik itu terdapat semacam pastu
sebagai akibat dari apabila tidak mengindahkan bhisama tersebut.
Sebagai contoh lagi, yang terkenal
adalah pastu dari Brahmana Keling ketika beliau diusir dari Besakih saat menemui
saudaranya yakni Dalem Waturenggong dan Danghyang Nirartha. Dimana diceritakan
ketika beliau dari Jawa kemudian sampai di Gelgel, beliau mendapatkan situasi
sedang sepi. Dalem dan sebagian rakyat sedang berada di Pura besakih
melaksanakan Karya Eka Dasa Rudra. Kemudian Brahmana Keling segera datang ke
Besakih. Brahmana Keling yang kelihatan lelah, lusuh, dan kotor, langsung
menuju ke tempat upacara. Secara tidak sengaja beliau istirahat di tempat
upacara berlangsung. Keberadaan beliau dilihat oleh Dalem, kemudian menyakan
orang yang dianggap asing tersebut. Brahmana kotor tersebut mengatakan bahwa
dirinya masih saudara Dalem dan Danghyang Nirartha. Tidak ada yang percaya
dengan perkataan orang tersebut. “Jangan-jangan orang tersebut adalah orang
yang tidak waras“. Demikian pikiran orang-orang saat itu. Orang yang mencemooh
Brahmana Keling di Besakih. Brahmana Keling tersebut diusir dari Besakih,
karena dianggap mencemari karya.
Dengan
tidak bergeming, Brahmana Keling beranjak dari Besakih menuju ke arah barat
daya, sambil mengucapkan kutukan. “wastu tata astu, karya yang dilaksanakan di
Pura Besakih tan sidakarya. Bumi kekeringan, manusia kageringan, sarwa gumatat
gumitit ngrubeda di seluruh jagat Bali“. Kutukan Brahmana Keling sangatlah
manjur. Semua tanaman seketika layu dan mati. Tanaman yang sudah berbuah,
tiba-tiba buahnya jatuh dan berguguran, busuk dimakan ulat. Di persawahan,
tanaman padi dan palawija yang sudah siap panen tiba-tiba diserang hama tikus
dan balang sangit. Penyakit merajalela menyerang manusia dan binatang-binatang
peliharaan. Suasana menjadi mencekam, semua menderita, baik manusia, binatang,
maupun tumbuh-tumbuhan. Dalem Waturenggong menjadi bersedih karena keadaan
tersebut. Tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah
tersebut. Yadnya urung dilakukan karena situasi yang tidak memungkinkan.
Menghadapi
situasi demikian, maka Purohito kerajaan yakni Danghyang Nirartha dan Dalem
Waturenggong melakukan yoga semadi di Besakih. Dari yoga semadi tersebut beliau
mendapatkan pewisik, bahwa penyebab semua ini adalah kutukan yang dikeluarkan
oleh orang yang mengaku Brahmana Keling dan mengaku saudara Dalem. Hanya
beliaulah yang mampu mengembalikan keadaan seperti sediakala. Maka dari itu,
segera Dalem memerintahkan patih dan rakyat untuk menjemput orang tersebut
sampai ketemu. Setelah beberapa lama dicari, didapat kabar bahwa Brahmana
Keling telah sampai di Bandana Negara atau Badung pesisir selatan. Beliau
tinggal dan membuat pesraman di sana. Di sana beliau dihadap oleh para patih
dan beberapa rakyat sebagai utusan untuk menjemput Brahmana Keling untuk diajak
ke Gelgel dan langsung ke Besakih.
Atas
kesucian bathin beliau, Brahmana Keling bersedia datang kembali ke Besakih.
Setelah sampai di Besakih beliau disambut dengan kehormatan. Dalem berkata
bahwa Brahmana Keling dimohon untuk menarik kutukannya. Jika situasi kemudian
dapat kembali seperti semula, maka Dalem akan mengakuinya saudara Dalem. Brahmana
Keling melakukan hening sejenak sambil mengucap mantra sakti, tanpa sarana
apapun. Seperti tidak diduga sebelumnya, keadaan berangsur-angsur berubah
menjadi baik. Tanam-tanaman menjadi segar tumbuh subur kembali dan berbuah.
Hama tikus, balang sangit dan segala jenis hama tiba-tiga menghilang dari persawahan.
Rakyat yang tadinya menderita penyakit, menjadi sembuh seperti sediakala.
Paceklik berubah menjadi hujan, bahkan keadaan menjadi lebih baik dari
sebelumnya.
Karena kesucian batin dan kesaktian dari
Brahmana Keling, dan diakui sebagai saudara Dalem Waturenggong. Brahmana Keling
kemudian dianugrahkan gelar Dalem. Karena berkat kesucian dan kesaktian beliau,
sehingga keadaan menjadi lebih baik, dan karya yadnya dapat dilakukan dengan
sukses sesuai maksud dan tujuannya, maka Brahmana Keling diberi julukan Brahmana
Sidakarya. Gelar beliau menjadi Dalem Sidakarya.
Pada masa sekarang ini, mungkin pembaca
sudah pernah mendengar kisah penemuan situs
Gumuk Gadung, yang sekarang dibangun Candi Purwo. Tempat itu pada
awalnya dikutuk dipastu oleh Sabdapalon pada masa akhir kerajaan Majapahit.
Tempat itu dilindungi oleh pastu dalam jangka waktu lima ratus tahun dengan
bunyi “Jalmo Moro Jalmo Mati”. Siapa yang memasuki wilayah tersebut, maka akan
tak kembali alias mati. Maksud dari pastu ini terkuak beberapa tahun yang lalu
yakni menjelang tahun dua ribuan. Dimana tempat tersebut merupakan tempat
pertemuan terakhir dari raja Majapahit terakhir yakni Prabu Brawijaya dengan
pengasuh tanah Jawa yakni Sabdapalon Nayagenggong. Mereka berjanji akan kembali
lagi untuk berkumpul di tempat ini setelah lima ratus tahun kemudian. Nah untuk
melindungi tempat itu dari usikan manusia, maka tempat tersebut dipastu oleh Sabdapalon.
Setelah lima ratus tahun kemudian barulah akan ada seseorang yang mendapatkan mandat
untuk membuka kutukan dengan sarana Tirtha Sapta Gangga yang diperoleh melalui
perjalanan spiritual yang panjang, serta godaan yang berat. Di tempat tersebut
sekarang sudah dibangun sebuah candi yang bernama Candi Purwo sebagai amanat
dari pengemban nusantara ini yakni Sabdapalon dan Prabu Brawijaya.
Terkait dengan urusan pastu, pembaca
yang budiman mungkin sering menyaksikan di kalangan masayarat Hindu Bali tak
dijinkan sembarangan membaca lontar. Hal ini memang benar adanya. Sebab dari
sekian banyak lontar yang ditulis oleh para penulisnya, terdapat beberapa
lontar yang dilindungi oleh penulisnya dengan memberikan pastu. Pastu itu
adalah semacam peringatan keras dari penulis terhadap hasil karya. Apabila
peringatan tersebut dilangar, maka akan terjadi sesuatu pada diri yang membaca
lontar tersebut, atau yang mempelajari ilmu yang tersurat di dalm lontar
tersebut. Nah inilah yang menyebabkan banyak orang takut membaca lontar.
Lantaran takut terkena pastu dari lontar itu.
Memang tak semua lontar dilindungi
dengan pastu. Tetapi banyak pula orang yang terkena pastu sebuah lontar. Seperti
misalnya banyak orang yang menjadi gila karena membaca lontar tertentu. Ada pula
yang kehilangan sebagian ingatannya, sehingga ia sering lupa-lupaan. Itu adalah
gejala dari terkena pastu sebuah naskah kuno dan rahasia. Oleh sebab itu, orang
yang mengetahui akan hal tersebut, maka ia akan mendahului pembacaan dengan
mengucapkan puja puji kehadapan Betara Betari, agar tak terkena pastu, tak kena
kutuk dan tak terkena cakarabawa
rajapinulah, sehingga terbebas dari pastu yang terdapat dalam lontar tersebut.
Pastu ini adalah kekuatan alam yang tak
bisa dihalangi oleh siapapun, bahkan para dewa di kayangan. Banyak mitologi
mengenai para dewa dikayangan yang dikenai pastu. Seperti kisah Dewa Siwa dan Parwati.
Secara singkat disebutkan bahwa Dewi Parwati yang diutus untuk mencari susu
lembu, ketahuan menjalin hubugan dengan seorang pengmbala lembu. Maka Dewi
Parwati dikutuk serta harus menjalani hukuman menjadi Dewi Durga Bhairawa yang
menjalani hidup di Setra Gandamayu sebagai Dewa sesembahan dari para bhuta kala
dan penekun dari dunia kegelapan. Sampai akhirnya Dewa Siwa mengakhirinya
dengan percengkramaan antara Rangda (Dewi Durga) dan Barong Ket (Dewa Siwa). Demikian
dikisahkan.
Bahkan kelahiran dari Sang Panca Pandawa
pun sejatinya dalam mitolofgi adalah akibat
kutukan di kayangan. Dalam Purana disebutkan bahwa Dewa Indra yang
kawatir dengan tapa dari Asura Tri Sirah yang bertapa kehadapan Dewa Brhama,
ingin mendapatkan kekuatan untuk menguasai kayangan. Ketika Asura Tri Sirah sedang
bertapa, maka Dewa Indra lalu memenggal kepala sang asura tersebut. Karena
melanggar dari sesana, maka Dewa Indra terkena kutukasn Dewa Brahma yakni Dewa
Indra akan kehilangan sebagian kekuatannya. Kekuatannya akan menuju ke Dewa Dharma
menjelma menjadi Sang Dharmawangsa, sebagian lagi menuju ke Dewa Bayu yang
nantinya akan menjelma menjadi Sang Bima, kekuatan Dewa Indra yang masih
tersisa secara langsung akan menjelma menjadi Sang Arjuna, dan sebagian lagi
menuju ke dewa kembar yang akan menjelma menjadi Nakula dan Sahadewa.
Masalah pastu, mungkin pembaca masih ingat
dengan kejadian Bom Bali di Kuta. Masyarakat Bali mengutuk pelaku dengan
melakukan doa bersama dan upacara Karipubaya, yang akhirnya semua pelaku dan
jaringannya habis tuntas terungkap. Dan
masih banyak lagi contoh mengenai pastu di dalam kehidupan masyarakat sejak
jaman dahulu sampai jaman sekarang. Dalam cerita rakyat di daerah lainnya,
kutukan atau pastu banyak diceritakan, seperti seseorang dikutuk menjadi batu,
menajadi kayu, menjadi binatang, menjadi manusia jelek, dll. Ini membuktikan
bahwa kutukan itu memang benar-benar terjadi dan nyata.
Bagaimana kutukan itu bekerja dan
mengenai orang yang dikutuk. Apakah setiap orang yang dikutuk itu bisa terkena.
Jelas tidak akan ada jawaban pasti, sebab akibat kutukan itu pastilah
disingkronkan dengan karma yang bersangkutan serta sejauhmana derajat kesalahan
dari mereka yang mengutuk, serta sejauhmana si pengucap pastu itu mendapatkan
dampak kerugian dan seberapa tulus orang mengutuknya.
Dari pengamatan mengenai kutukan,
mengindikasikan bahwa orang yang teraniaya, orang yang tersakiti, kutukannya
manjur. Karena kutukannya dilandasi atas kebenaran dan rasa prihatin yang
mendalam. Artinya si pengutuk memohon kehadapan Tuhan agar proses karma dari
perbuatannya tersebut dipercepat.
Dan bicara mengenai kutukan, yang aneh
lagi adalah para pedagang yang sering mengutuk dirinya sendiri untuk meyakinkan
pembeli agar dapatkan untung yang besar. Sebagai contoh, dalam proses tawar menawar
seringkali si penjual berucap apang sing
selamet (agar tak selamat), pang
lilig montor (agar dilindas sepeda motor), bani kiting / jengker (berani stroke), pang salahang betara (agar disalahkan oleh para dewa), pang mati (biar mati), dll.
Ucapan yang mengerikan itu setiap hari
terucap di pasar dalam proses tawar menawar. Kenakah mereka akibat dari kutukan
mereka sendiri? Rupanya hal ini hanyalah didasari atas motivasi untuk
mendapatkan untung. Ini adalah sebuah ucapan sampah, sumpah serapah yang tak
tulus dan tak ada sebab akibat. Hanya
berlangsung begitu saja tanpa ada yang teraniaya, tersakiti, sehingga tak
berdampak bagi si pengucap. (KI Buyut/ Kanduk).
No comments:
Post a Comment