Mungkin tulisan ini sedikit tendensius
mengenai keberadaan Hindu di Indonesia atau di Bali khususnya. Semenjak
beberapa tahun reformasi secara tak diduga-duga terjadi di Indonesia, maka
kehidupan kebangsaan menjadi semakin kabur nasionalismenya. Sering masyarakat
bangsa ini terjebak dalam situasi fanatisme. Yang paling terasa adalah semangat
agama atau boleh dibilang mengarah kepada fanatisme agama. Setiap hari terdengar
perdebatan agama, perdebatan paham, baik di intern sebuah agama maupun anttar
pemeluk agama. Baik itu dikalangan para nasionalis maupun dengan para kelompok
radikal atau kelompok spiritual. Perdebatan maupun dialog yang semakin intens
tersebut justru kerapkali membawa masyarakat bangsa ini semakin jauh dari nilai
agama itu sendiri. Kenapa demikian?, karena ujung-ujungnya adalah debat agama,
ujungnya adalah mencari kelemahan masing-masing agama, dan memperlebar jarak
kesenjangan antara satu agama dan agama yang lain, sehingga garis toleransi
menjadi kabur. Sudah tentu hal ini merupakan situasi yang kurang mengembirakan
jika dipandang dari sudut kebinekaan yang menjadi semboyan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Khusus dalam agama Hindu, melalui
perdebatan-perdebatan dan diskusi panjang serta pergaulan di masayarakat bangsa
dengan agama-agama lain, dimana kita saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dalam
pergaulan tersebut agama Hindu banyak mengadopsi pola pikir yang sejak dahulu
tak pernah terpikirkan atau tak pernah terhiraukan oleh umat Hindu itu sendiri.
Secara sadar maupun tak sadar umat Hindu telah menuntut kepada agamanya sendiri
tentang sesuatu yang ia lihat pada agama tetangga, lalu berusaha untuk
menyesuaikannya dengan agama tetangga. Sebagai contoh misalnya:
1.
Umat
Hindu mulai memakai pengeras suara untuk mengumandangkan puja tri sandya. Pada awalnya sejatinya puja tri sandya diwajibkan
bagi mereka yang telah menjalani masa wanaparasta dan sanyasin. Namun karena
pengaruh agama tetangga yang memiliki waktu sembahyang yang disebut dengan
sembahyang lima waktu, maka Hindu pun mulai menggalakkanya sembahyang tiga
waktu. Memang ini suatu hal yang positif, namun dalam perkembangannya yang
rajin dan rutin melaksanakan tri sandya adalah bale kulkul banjar, televisi,
dan radio.
2.
Ketika
teman-teman di umat lain sibuk menjalankan puasa selama sebulan dengan segala
hiruk pikuknya, maka dalam kebangkitan kesadaran umat Hindu sejak beberapa dekade
belakangan ini juga sibuk menjalani upawasa
berkaitan dengan catur brata penyepian. Padahal sebelumnya, tak banyak orang berpikir
tentang puasa. Puasa hanya dilakukan oleh mereka yang telah menjalani tahapan
wanaprasta, maupun sanyasin, ataupun bagi para penekun spiritual. Artinya bahwa
mereka punya puasa, kita juga punya.
3.
Pada
saat teman sepergaulan mengharamkan babi, maka kita sibuk juga memproklamirkan
diri tak makan sapi dengan alasan bahwa sapi sebagai ibu, dan sapi adalah
bainatang suci bukan haram. Semangat kesadaran ini muncul belakangan, banyak
yang tak mengkonsumsi daging sapi. Padahal sejatinya jaman dahulu mereka yang
tak makan sapi adalah mereka-mereka yang menapak jalan kesucian baik itu
sulinggih, pemangku, maupun mereka yang menjalankan tugas kesucian yang telah
menjalankan prosesi pewintenan.
4.
Ketika
di televisi kita melihat teman-teman sepergaulan bersemangat mengurai ayat-ayat
suci yang ada dalam kitab sucinya, maka kita kelimpungan untuk mencari “dimana
kitab suci saya”, bagaimana rupa kitab suci kita yang disebut Weda?. Dengan harapan
agar tak kalah dengan teman-teman itu. Padahal sejatinya ayat-ayat suci Weda
telah terurai dan bersenyawa dalam berbagai macam cerita kuno, cerita budi
pekerti, ajaran susila, serta filsafat upacara yang hidup dan berkembang di
dalam masyarakat. Sedangkan teks tertulis yang ada di Indonesia dan khusunya di
Bali sebagian besar sudah ditullis daan ditafsirkan secara teknis dalam bentuk
lontar-lontar. Namun pengaruh ini sangat bagus, yang kahirnya ada semangat
untuk mewujudkan kitab suci Weda dalam bentuk buku, seperti yang banyak
tersebra di toko buku saat ini.
5.
Kita
saksikan pula setiap melakukan sembahyang bersama, teman-teman sepergaulan
mendapatkan siraman rohani dengan mendengarkan kotbah dari para pemimpin agama
dengan bahasa yang berapi-api. Lalu kita sudah mulai dapat mengimbanginya
dengan melakukan darma wacana dalam setiap odalan atau dalam suatu kegiatan
tertentu yang berkaitan dengan upacara adat atau agama. Dan itu pun tak wajib
dalam setiap persembahyangan, masih menyesuaikan dengan situasi dan kondisi,
serta kebutuhan.
6.
Setiap
tahun teman-teman dari agama lain mengirimkan sekian ratus ribu orang untuk
menunaikan ibadah haji ke Mekah yang konon sebagai tempat kelahiran agamanya,
maka ada sekelompok umat Hindu yang “ikut-ikutan” untuk melakukan perjalanan suci
ke India yang konon katanya sebagai tempat asal dari ajaran Hindu, dalam
kemasan program Tirthayatra.
7.
Teman-teman
tetangga sebelah sangat membanggakan tanah Arab sebagai “tanah suci” sebagai
asal mula kelahiran agama dan nabinya, dan kiblat agamanya pun mengarah ke
sana. Lalu sebagian dari kita malah mengekor mengatakan bahwa India adalah
tanah suci agama Hindu. Padahal tidak demikian halnya. Hindu menyatakan bahwa
semua tempat adalah suci dan tak melakukan diskriminasi tterhadap sebuah
wilayah atau tempat. Dimana Dewa dipuja, dimana Weda dijalankan, maka disanalah
tanah suci.
8.
Teman-teman
di sebelah mengelu-elukan seorang nabi besar, kita pun mulai bertanya ke sana
ke mari, siapa nabi kita? Padahal di dalam Hindu nabi umat Hindu sangat banyak
yakni sapta resi yang diturunkan pada awal penciptaan alam semesta. Lalu sekian
banyak nabi lagi yang diturunkan dari jaman ke jaman. Maka jangan kawatir bahwa
umat hindu tak punya nabi / nabe. Malah justru agama Hindu memiliki banyak
nabi. Jangan terjebak pada perkataan bahwa satu agama satu nabi. Agama Hindu yang
kaya, mulia, serta agama tertua dimuka bumi ini memiliki banyak nabi.
9.
Ketika
teman-teman agama lain mengadakan lomba membaca ayat-ayat kitab suci, maka
dengan bersemangat kita juga mengadakan kegiatan utsawa dharma gita mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten
kota, profinsi dan tingkat nasional. Dimana pada awalnya, membaca kitab succi
lontar sangat ditabukan bagi anak-anak atau remajaa, karena aja wera. Artinya
tidak bisa dilakukan secara sembarangan, apalagi pamer, karena harus siap
mental dan kecerdasan untuk memhami isinya, agar tak salah pemahaman, tak salah
tafsir, dll. Namun karena jaman menuntut demikian, yah apa boleh buat.
10.
Ketika
teman-teman dengan fasih mengucapkan ayat-ayat agama dan istilah agamnya dengan
bahasa Arab, sepertinya kurang afdol rasanya kaalau Hindu tak menggunakan
Bahasa Sansekerta. Oleh karena itu mulailah orang-orang Hindu untuk melirik
bahasa Sansekerta. Padahal sejatinya ajaran Agama Hindu oleh para leluhur telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno (kawi), lalu bahas Bali, dan kini sudah
ke dalam bahasa Indonesia. Tidak mesti rasanya harus kembali ke bahasa
Saskerta. Mengapa demikian sebab pada awalnya wahyu Tuhan yang diterima oleh
para Maharesi terdahulu ditulis dalam bahasa Daiwiwak (bahasa Dewa). Lalu dalam
perkembangannya di India bahasa Daiwiwak yang sangat rahasia tersebut
diterjemahkan ke dalam Bahasa masyarakat india Kuno saat itu yakni Bahasa
Sansekerta. Dari bahasa Sansekerta inilah kemudian ajaran Hindu diterjemahkan
dalam berbagai banyaak bahasa di dunia. Jadi dengan demikian, perlukah kita
kembali bahasa berepot ria menggunakan
bahasa Sansekerta?. Kecuali hanya untuk pamer dan gagah-gagahan?
11.
Ketika
teman-teman dengan fasih mengucapkan salam pertemuan dan perpisahan dengan saudara
seumat, maka umat Hindu juga sudah menemukan ucapan om suastyastu dan om santi
santi santi santi. Jadi untuk urusan salam, dalam beberapa tahun terakhir ini
umat Hindu sudah mulai biasa mengucapkan salam umat.
12.
Dalam
pergaulan selanjutnya, teman kita sering mengucapkan sebuah kelimat ketika ada
umat yang meninggal dunia. Nah saat itu umat hindu belum biasa menggunakan
ucapan untuk hal kematian. Maka sibuklah kita mencari sebuah kalimat dalam
bahasa Sansekerta yang bisa dipakai mengimbangi kalimat itu. Maka munculah kalimat-kalimat
seperti “amor ing acintya”, om moksantu, sunyantu,…. dan seterusnya.
13.
Ketika
bulan puasa, teman-teman sepergaulan sibuk mengumpulkan dana zakat yang akan
diperuntukkan bagi fakir miskin, atau untuk keperluan pembangunan sarana ibadah,
maka kita di Hindu sibuk mengimbanginya dengan gerakan “dana punia”.
14.
Ada
lagi hal yang sedikit menggelitik dimana pada jaman dahulu bahwa umat Hindu
tertuama di Bali sudah lumrah menyelenggarakan tajen pada saat odalan di pura.
Dimana dana yang diperoleh dari tajen tersebut digunakan untuk keperluan
odalan, untuk pembangunan sarana pura, dan sebagainya. Namun ketika pemerintah dan
juga agama lain mengharamkan dan melarang judi lengkap dengan ayat-ayatnya
sucinya, maka kita sibuk mencari sloka-sloka yang mengatakan bahwa judi itu dilarang.
Semua ini dilakukan hanya gengsi dengan pemerintah dan umat lainnya yang
melarang judi.
15.
Satu
lagi yang kerap menjadi cibiran dari teman-teman tentang praktek Hindu dimana
dikatkan bahwa “Hindu Menyembah Patung”. Dimana patung dikatakan sebagai batu
dan berhala, bukan menyembah Tuhan.
Semestinya kita tak terpengaruh dengan cibiran tersebut, sebab patung
tersebut adalah perwujudan dari dewa-dewa, dan patung tersebut adalah sebagai
media konsentrasi kepada Hyang Tunggal. Apakaah dengan cibiran tersebut kita
menjauhi patung? Tidak….. tidak…. Dalam
Hindu ada konsep dewa ya kala ya
pengertiannya adalah Beliau Hyang Tunggal dapat berwujud apa ssaja sebagai
kemahakuasaan beliau. Bisa berwuujud Dewa, bisa berwujud kala. Artinya beliau
bisa menciptakan kemakmuran, dan dapat pula menciptakan kehancuran. Itulah
kemahakuasaan Tuhan. Tak perlu di pungkiri.
Itulah beberapa
hal yang menjadi catatan penulis mengenai perkembangan Hindu dalam pergaulannya
dengan umat lain di Indonesia. Tulisan ini juga tak menampik adanya hikmah
positif dari pergaulan Hindu dengan agama lain dalam bingkai Negara Kesatuan
Rpublik Indonesia. Maksud dari tulisan ini adalah untuk penguatan keyakinan
umat Hindu dari gempuran pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pelemahan
Hindu. Yang penting lagi, Hindu tak perlu didikte oleh pihak-pihak lain dalam
meyakini agama serta menjalankan tata cara agama Hindu. Sadar atau tak sadar,
dalam pergaulan akan selalu ada provokasi, ada debat, dan saling mencari titik
lemah. Selalu akan ada goodaan bahwa “aku punya ini, mana punyamu?” “Aku
begini, kamu gemana?” Untuk menghadapi situasi demikian, Hindu tak perlu
meladeni habis-habisan, tak perlu terpengaruh. Jalankan apa yang diyakini, jalani
apa yang Hindu punya. Tak perlu ikut-ikutan, apalagi didikte. Hindu punya
keyakinan, punya cara, punya identitas, punya jati diri. Hindu mesti berpikir
atas srada / keyakinan, berbuat atas dasar kesadaran sendiri, serta berbuat dan
berdiri di atas kaki sendiri sebagai Jati Diri Hindu. (kanduk)
No comments:
Post a Comment