Ada hal yang mulai mencuri perhatian
setiap tahunnya ketika hari raya kurban atau Idul Adha bagi umat Islam. Hari
suci yang juga disebut dengan Lebaran Haji di Indonesia ini semakin tahun menjadi semakin marak. Konon hari ini adalah
hari ujian kesetiaan, ujian ketulusan, serta ujian bagi semua umat muslim di
dunia dituntut keiklasannya dalam menjalankan kehidupan dengan melakukan
penyembelihan. Hari lebaran haji ini semakin menjadi ingatan bagi umat lainnya
terutama di daerah Bali khususnya di Denpasar yang tingkat kemajemukannya
sangat tinggi. Apa yang menjadi menarik perhatian?
Pasalnya pada setiap hari Idul Adha,
umat muslim merayakan dengan melakukan persembahyangan dan memotong hewan
kurban yakni sapi atau kambing. Pada awalnya dahulu, kambing yang disembelih
itu hanya diperuntukkan bagi mereka warga muslim yang terkumpul dalam satu mesjid
saja. Namun dalam perkembangan berikutnya, mengingat semakin majemuknya kehidupan
di Denpasar, maka daging-daging kambing tersebut mulai sedikit demi sedikit
diberikan kepada warga-warga tetangga yang lain agama, apakah Hindu atau
Kristen. Warga Hindu dan Kristen pun tak menolak dan menerima dengan tulus
iklas, sebab daging kambing memang lezat dan menyehatkan. Umat Hidnu Bali dan
mungkin warga Kristen tak begitu fanatik dengan makanan, hal ini suatu hal yang
wajar dan tak masalah. Dan memang sedikit berbeda dengan warga muslim yang
kerapkali sangat memperhatikan asal usul makanan dalam label halal. Termasuk
cara sembelih binatang yang mesti mengikuti kaidah tertentu dalam islam.
Sehingga kerapkali warga muslim kesulitan mencari makanan di tanah Bali ini,
demikian juga kerapkali tak bisa mengkonsumsi makanan yang diproduksi oleh
warga non muslim (hal ini hanya terjadi bagi mereka yang fanatik atau “sok fanatik”).
Sebab sebagian besar umat muslim di Bali tak mempermasalahkan makanan Bali,
kecuali babi. Dan memang mestinya begitu. Sebab dimana bumi dipijak di sana
langit dijunjung. Sedangkan masyarakat Bali Hindu atau Kristen, tak banyak masalah
dengan daging. Kecuali bagi kaum rohaniawan Hindu Bali yang telah melakukan upacara
inisiasi dan penyucian yang disebut dengan mewinten,
maka ada brata atau pantangan untuk tak memakan daging sapi, karena sapi
dianggap sebagai binatang yang disucikan, bukan binatang yang diharamkan.
Nah kembali ke tradisi ngejot be kambing, semakin tahun semakin
meningkat dan semakin menjadi ingatan bagi krama di luar muslim, sehingga
kegiatan potong kurban menjadi semakin meningkat, mengingat semakin banyak
warga dan tetangga yang mesti dikirimi daging kambing. Umat muslim makin berlomba-lomba
untuk memberikan kiriman kepada umat non muslim pada hari Idul Adha.
Dalam konteks hidup kebersamaan, hal ini
adalah suatu hal yang positif karena daging kambing dipakai sebagai sarana
untuk menjalin hubungan baik atau tali silaturahmi antara warga muslim dan non
muslim di Denpasar. Demikian juga dalam konteks pemaknaan dari hari kurban
tersebut, bahwa daging kambing dipakai sebagai simbol keiklaasan sebagai
manusia dalam menjalani kehidupan. Demikian juga keilaksan untuk hidup bersama
dalam kebinekaan di tanah nusantara ini. Daging kambing sebagai simbol tali
pengikat hidup dalam keberagaman, sebagai simbol kebersamaan, simbol persatuan.
Namun di luar konteks pemaknaan tersebut,
memang ada beberapa warga masyarakat Hindu Bali yang menilai bahwa daging
kambing tersebut kalau diterjehamkan ke dalam filosofi Hindu, bahwa daging
kambing itu adalah daging persembahan yang dalam Hindu disebut dengan daging caru. Akibat dari pemahaman tersebut,
maka ada beberapa masyarakat yang menganggap bahwa daging tersebut tak layak
dikonsumsi, karena sudah dipersembahkan kepada para bhuta kala. Dan itu bukan
ditujukan untuk manusia.
Terlepas dari pemaknaan segelintir orang
mengenai be kambing tersebut di atas
sebagai daging caru. Ngejot be kambing mesti dimaknai secara
positif dalam jaman kekinian yakni sebagai simbol keiklasan. Artinya pula bahwa
ada nilai keiklasan timbal balik antara manusia Hindu Bali dengan warga Muslim
di tanah Denpasar. Artinya bahwa umat Hindu Bali dapat menerima jotan daging kambing kaum muslim dengan
iklas, maka kaum muslim mesti dapat menerima dengan iklas jotan orang Bali Hindu berupa makanan Bali (yang sudah tentunya
tanpa unsur babi). Sehingga akan muncul keiklasan antara si pemberi dan
penerima. Kalau hal ini bisa dilaksanakan, maka saling ngejot antar umat di
hari raya sangat berarti bagi kehidupan kekinian di tanah Bali dan di tanah
nusantara ini. Namun sayang, kerapkali makanan yang diberikan kaum Hindu kepada
umat muslim kurang bisa diterima karena menurut mereka tata cara penyembelihan
tak sesuai dengan tata cara mereka. Sehingga seringkali umat muslim menganggap
makanan yang diolah oleh orang Bali Hindu tak layak disantap oleh kaumnya. Lalu
saudara muslim selalu memasang spanduk di warungnya berlabel “Warung Muslim”.
Lalu bagaimana dengan tanah Bali yang dipijak, air Bali yang diminum, serta
udara Bali yang telah dihirup, serta langit Bali yang dijunjung? Layakkah bagi
mereka?. Semoga saudara-saudara muslim di Bali bisa memahami keberagaman ini
dan tak terjebak dalam situasi dimana kita mesti saling memahami dan saling
menghormati. Kita salut dengan sebagian saudara muslim yang tak pernah
mempermasalahkan makanan krama Bali (kecuali babi). Label halal, haram, warung muslim, sukla, dll, hanya akan menyulitkan
diri sendiri. (Kanduk).
No comments:
Post a Comment