Pergumulan Pustaka Lipyakara dan Astacapala
Disebutkan seorang janda
tinggal di Girah, Ni Calonarang namanya memiliki seorang putri bernama Ratna
Menggali, parasnya cantik tetapi tidak ada yang mau melamar. Karena tidak ada
yang mau melamar anaknya, maka Ni Calonarang berkehendak menghancurkan kerajaan
Daha..
Untuk mencapai tujuannya,
Ni Calonarang madewa saraya ke setra gandamayu, memuja Ida Betari Durga, diikuti oleh para sisya (muridnya). Ni Calonarang berkata
”Rarung, bunyikan kamank kangsimu,
mari kita menari !!!”. Si Guyang segera menari, dengan gerak
merentang-rentangkan tangan dan menepuk-nepuk. Setelah mereka membagi diri menjadi
lima penjuru, pergilah Ni Calonarang ke tengah kuburan. Ia menemukan mayat
orang mati mendadak pada hari Sabtu Kliwon. Mayat itu didirikan, diikat pada
pohon kepuh. Mayat itu dihidupkan diberi nafas,
Si Weksirsa dan Mahisawadana membukakan matanya. Hidup kembali mayat itu,
dan dapat berbicara.
Mayat hidup tersebut
berkata ”siapakah tuan yang
menghidupkan hamba? sangat besar hutang hamba. Hamba tidak tahu membalasnya.
Hamba hendak mengabdi kepadanva, lepaskanlah ikatan hamha dari pohon kepuh.
Hamba hendak berbakti dan bersujud”
Lalu Si Weksirsa berkata, “Engkau kira engkau akan
hidup lama? Sekarang engkau akan kupenggal lehermu” Segera lehernya dipenggal,
melesatlah kepala mayat itu, darahnya menyembur menggenang. Darah itu dipakai
mencuci rambut oleh Calonarang. Kusutlah rambutnya oleh darah, ususnya
dikalungkan, dengan secepatnya diolah dipanggang semua, digunakan untuk korban
para bhuta dan segala yang tinggal di Ruhunan
itu, terutama Batari Bagawati. Korban utama itu dihaturkan dan segera muncul
Batari dari kahyangan. Bersabda kepada Calonarang “aduh, anakku Calonarang,
apakah maksudmu mempersembahkan makanan kepadaku dan bakti menyembah? Aku
terima persembahanmu itu”
Janda Girah menjawab “Dewi
penguasa dunia, jangan marah kepada hamba. Maksud hamba mohon perkenan Betari
untuk membinasakan orang di seluruh kerajaan”
Batari berkata, “ya, aku
senang Calonaarang tetapi engkau harus waspada dalam bertindak” Lalu janda di
Girah minta pamit, menghormat kepada
Batari.
Diceritakan kemudian Calonarang
berhasil mendapatkan pengetahuan tentang ”keburukan”, maka direalisasikan untuk menghancurkan
kerajaan Daha. Dari pinggir kota kerajaan, rakyat mulai mengalami penderitaan
dan tertimpa berbagai macam penyakit yang sulit disembuhkan dan akhirnya
meninggal, semakin hari semakin banyak masyarakat yang meninggal tanpa sebab.
Baginda Raja merasa
kesulitan menghadapi hal itu, akhirnya mengadakan paruman Agung, dengan
mengundang berbagai Rsi, Pendeta, Bhagawan, Mpu dan yang lainnya. Akhirnya
menyepakati bahwa Mpu Bharadah yang diberi tugas untuk menyelesaikan ulah Si
Calonarang.
Mpu Bharadah mengutus
anaknya Mpu Bahula untuk mengawini putri Calonarang yang bernama Ratna
Manggali, dengan tujuan untuk mempelajari ilmu yang dimiliki oleh Calonarang.
Kehadiran Mpu Bahula yang
berparas tampan, dapat diterima oleh Calonarang dan Ratna Manggali. Singkat
cerita, terjadilah perkawinan dengan hidup sangat rukun. Tetapi yang menjadi
khawatir Mpu Bahula adalah kepergian Calonarang dan Ratnamanggali setiap malam
pergi ke kuburan. Mpu Bahula ingin mengikuti istrinya ke kuburan tetapi tidak
diijinkan, hanya diberikan sebuah pustaka yang dipakai dasar untuk melaksanakan
ajaran itu, pustaka tersebut bernama Lipyakara..
Pustaka lipyakara segera dibawa ke pesraman Mpu
Bharadah, setelah dibaca dan dipelajari dengan waktu yang sangat singkat Mpu
Bharadah dengan mudah dapat memahami isinya, bahwa ajaran tersebut sama dengan
ajaran Mpu Bharadah, hanya dipergunakan untuk aliran kiri.
Setelah Mpu Bharadah
menguasai ilmu dari pustaka Lipyakara,
maka datanglah beliau ke rumah Calongarang, dengan tujuan untuk menyadarkannya.
Tetapi Calonarang meminta dirinya agar diruwat atas dosa-dosa yang telah
dilakukannya. Mpu Bahula tidak bersedia meruwatnya, karena dosa-dosa yang
dilakukan menghancurkan kerajaan dan membunuh masyarakat. Calonarang seketika
itu bangkit emosinya, sambil berkata ”Biarkahlah sampai mati, saya akan
mempertahankan pustaka lipyakara ini”.
Sambil membalikan badannya, menantang Mpu Bharadah, Calonarang menyihir sebuah
pohon beringin dan seketika terbakar akibat tatapan mata Calonarang. Mpu
Bharadah berkata ”keluarkanlah seluruh ilmu yang dimiliki”!
Calonarang semakin marah,
seluruh tubuhnya keluar api dari rambutnya, matanya, telinganya, mulutnya, siap
untuk menerkam Mpu Bharadah. Mpu Bharadah duduk dengan tenang, sambil komat
kamit melantunkan mantra yang termuat dalam pustaka Astacapala, ketika tubuh Mpu Bharadah diterkam, maka pada saat itu
pula Calonarang meninggal dengan badan terbakar. (ki buyut)
No comments:
Post a Comment