Pada tanggal 29 September 1963, Prof. Mantra menyampaikan Pidato Ilmiah
Dies Natalis I Universitas Udayana Denpasar, Pidato ilmiah tersebut tidak saja
penting bagi Universitas Udayana Tetapi juga bagi kita semua, umat Hindu
khususnya.
Dalam Pidato ilmiah tersebut Prof.
Mantra berbicara tentang Candi, malah menyampaikan pendapat yang berbeda dengan
para sarjana peneliti sebelumnya.
Setelah menyampaikan latar belakang
pidato ilmiahnya serta pendapat para sarjana yang telah berbicara atau menulis
sebelumnya Prof. Mantra kemudian menyatakan, “Dr. Stiterheim adalah sarjana
yang terakhir yang menaruh perhatian yang lebih mendalam bahkan menghubungkan
dengan dengan kepercayaan sebelum jaman Hindu-Indonesia. Pada pokoknya Dr.
Stuterheim menarik suatu kesimpulan bahwa perkembangan tradisi mengabadikan
seorang raja dalam bentuk Dewa-Dewa tradisi mana tidak dikenal di India, adalah
mempunyai hubungan yang langsung dengan kelanjutan hidupnya tradisi Indonesia
yang tua, yaitu penyembahan leluhur dengan arca-arca dan sisa-sisa tulang,
suatu hubungan yang masih diperlukan antara yang meninggal dunia dan yang masih
hidup. Maksudnya untuk meninggikan kesuburan dan kebahagiaan hidup di dunia
ini. Di sinilah dapat dilihat pertemuan dua unsure kebudayaan Indonesia dan
Hindu.
Prof. Mantra selanjutnya menguraikan
secara panjang tentang pendapat para sarjana, khususnya para sarjana Barat yang
meneliti dengan seksama candi-candi ynag ada. Para sarjana Barat tersebut pada
umumnya menghubungan antara candi dengan system penguburan dan atau
pemeliharaan mayit oleh penduduk Indonesia terutama yang belum
mendapat pengaruh Hindu. Maka mereka sampai pada kesimpulan bahwa candi adalah
Mausolea, tempat menyimpan abu jenazah.
Prof. Mantra menyangkal hal itu dengan
pengamatan dan penelitian ilmiah yang dilakukannya, dan mengadakan perbandingan
dengan pendirian pura di Bali. Prof. Mantra
menyatakan, “Tiap-tiap orang yang mendalam dalam kebudayaan Indonesia Kuno dan
lalu menumbuhkan hidup perasaannya dalam adat-istiadat di Bali, akan segera
terkena perasaannya dan menimbulkan pemikiran kembali, bila mendengarkan bahwa
“candi” adalah Kuburan raja, bukan tempat suci, Pura, tetapi Mousolea. Bagi
tradisi di Bali kuburan adalah “leteh”. Kuburan juga dianggap sebagai tempat
menitipkan mayit sementara, dan harus dibakar (penyucian, pemisahan atma dengan
Panca Mahabhuta). Mengingat tradisi-tradisi yang hidup di Bali
ini. Sungguh sulit untuk memberi tapsiran bahwa candi itu yang di buat dimikian
agungnya dan misterius yang mengantarkan kita pada alam kesucian adalah
kuburan”.
Haruslah diingat bahwa pada
candi-candi di Jawa sampai sekarang belum pernah diketemukan abu. Memang ada
peninggalan yang diperkirakan abu, namun tidak pernah diperiksa dilaboratorium
apakah itu abu tulang manusia. Prof. Eerde dalam karangannya “Balische Hindu
Javaansche en BalischeEerdienst” telah membentangkan keadaan di Bali di mana tidak ada abu yang ditanam. “Wellicht dat de
lijkasch verteerd katoen is geweest, waarin de pripihs meestal zijn gewikkeld”
(Kemungkinan apa yang dikatakan abu mayit adalah benang-benang yang telah
hancur yang dipakai mengikat pripih).
Sebagaimana diketahui bahwa cecupu
yang ditanam di dasar candi Prambanan misalnya ternyata berisi kepingan tembaga
yang telah rusak, yang terbagi-bagi dengan garis-garis dan berisi
tulisan-tulisan kuno yang sudah tidak terbaca lagi, kepingan-kepingan emas yang
mengambil bentuk-bentuk misalnya bunga padma, telor, penyu, ular, juga
permata-permata dan kristal-kristal. Kita tahu bahwa pripih yang berisi
huruf-huruf mistik adalah ditunjukkan
kepada para Dewa.
Demikian Prof. Mantra dalam orasi
ilmiah tersebut telah menguraikan apa sebenarnya candi itu. Penelitian dan
perbandingan secara mendalam dilakukan. Dan kesimpulan yang ditarik adalah
bahwa candi bukanlah kuburan, sebagaimana dinyatakan oleh para sarjana
sebelumnya. Candi adalah tempat suci, ada yang merupakan pura untuk memuja
Tuhan Yang Maha Kuasa dan para Dewa, ada pula berupa dharma, pura untuk memuja
para leluhur yang telah didewakan.
Pendapat senada jauh kemudian baru
dikemukakan oleh Prof. Dr. Soekmono dalam disertasinya.
(Ki Buyut/ dbs.)
No comments:
Post a Comment