Monday, May 2, 2016

Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (8). CANDI BUKAN KUBURAN




 
        Pada tanggal 29 September  1963, Prof. Mantra menyampaikan Pidato Ilmiah Dies Natalis I Universitas Udayana Denpasar, Pidato ilmiah tersebut tidak saja penting bagi Universitas Udayana Tetapi juga bagi kita semua, umat Hindu khususnya.
       Dalam Pidato ilmiah tersebut Prof. Mantra berbicara tentang Candi, malah menyampaikan pendapat yang berbeda dengan para sarjana peneliti sebelumnya.
       Setelah menyampaikan latar belakang pidato ilmiahnya serta pendapat para sarjana yang telah berbicara atau menulis sebelumnya Prof. Mantra kemudian menyatakan, “Dr. Stiterheim adalah sarjana yang terakhir yang menaruh perhatian yang lebih mendalam bahkan menghubungkan dengan dengan kepercayaan sebelum jaman Hindu-Indonesia. Pada pokoknya Dr. Stuterheim menarik suatu kesimpulan bahwa perkembangan tradisi mengabadikan seorang raja dalam bentuk Dewa-Dewa tradisi mana tidak dikenal di India, adalah mempunyai hubungan yang langsung dengan kelanjutan hidupnya tradisi Indonesia yang tua, yaitu penyembahan leluhur dengan arca-arca dan sisa-sisa tulang, suatu hubungan yang masih diperlukan antara yang meninggal dunia dan yang masih hidup. Maksudnya untuk meninggikan kesuburan dan kebahagiaan hidup di dunia ini. Di sinilah dapat dilihat pertemuan dua unsure kebudayaan Indonesia dan Hindu.
        Prof. Mantra selanjutnya menguraikan secara panjang tentang pendapat para sarjana, khususnya para sarjana Barat yang meneliti dengan seksama candi-candi ynag ada. Para sarjana Barat tersebut pada umumnya menghubungan antara candi dengan system penguburan dan atau pemeliharaan mayit oleh penduduk Indonesia terutama yang belum mendapat pengaruh Hindu. Maka mereka sampai pada kesimpulan bahwa candi adalah Mausolea, tempat menyimpan abu jenazah.
        Prof. Mantra menyangkal hal itu dengan pengamatan dan penelitian ilmiah yang dilakukannya, dan mengadakan perbandingan dengan pendirian pura di Bali. Prof. Mantra menyatakan, “Tiap-tiap orang yang mendalam dalam kebudayaan Indonesia Kuno dan lalu menumbuhkan hidup perasaannya dalam adat-istiadat di Bali, akan segera terkena perasaannya dan menimbulkan pemikiran kembali, bila mendengarkan bahwa “candi” adalah Kuburan raja, bukan tempat suci, Pura, tetapi Mousolea. Bagi tradisi di Bali kuburan adalah “leteh”. Kuburan juga dianggap sebagai tempat menitipkan mayit sementara, dan harus dibakar (penyucian, pemisahan atma dengan Panca Mahabhuta). Mengingat tradisi-tradisi yang hidup di Bali ini. Sungguh sulit untuk memberi tapsiran bahwa candi itu yang di buat dimikian agungnya dan misterius yang mengantarkan kita pada alam kesucian adalah kuburan”.
         Haruslah diingat bahwa pada candi-candi di Jawa sampai sekarang belum pernah diketemukan abu. Memang ada peninggalan yang diperkirakan abu, namun tidak pernah diperiksa dilaboratorium apakah itu abu tulang manusia. Prof. Eerde dalam karangannya “Balische Hindu Javaansche en BalischeEerdienst” telah membentangkan keadaan di Bali di mana tidak ada abu yang ditanam. “Wellicht dat de lijkasch verteerd katoen is geweest, waarin de pripihs meestal zijn gewikkeld” (Kemungkinan apa yang dikatakan abu mayit adalah benang-benang yang telah hancur yang dipakai mengikat pripih).
         Sebagaimana diketahui bahwa cecupu yang ditanam di dasar candi Prambanan misalnya ternyata berisi kepingan tembaga yang telah rusak, yang terbagi-bagi dengan garis-garis dan berisi tulisan-tulisan kuno yang sudah tidak terbaca lagi, kepingan-kepingan emas yang mengambil bentuk-bentuk misalnya bunga padma, telor, penyu, ular, juga permata-permata dan kristal-kristal. Kita tahu bahwa pripih yang berisi huruf-huruf  mistik adalah ditunjukkan kepada para Dewa.
          Demikian Prof. Mantra dalam orasi ilmiah tersebut telah menguraikan apa sebenarnya candi itu. Penelitian dan perbandingan secara mendalam dilakukan. Dan kesimpulan yang ditarik adalah bahwa candi bukanlah kuburan, sebagaimana dinyatakan oleh para sarjana sebelumnya. Candi adalah tempat suci, ada yang merupakan pura untuk memuja Tuhan Yang Maha Kuasa dan para Dewa, ada pula berupa dharma, pura untuk memuja para leluhur yang telah didewakan.
         Pendapat senada jauh kemudian baru dikemukakan oleh Prof. Dr. Soekmono dalam disertasinya.
(Ki Buyut/ dbs.)


No comments:

Post a Comment