Dalam kongres Ilmu Pengetahuan
Nasional yang diadakan di Malang tanggal 3-9
Agustus 1958, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menyajikan makalah berjudul “Pengertian
Siva-Buddha dalam Sejarah Indonesia”.
Makalah yang disajikan dengan landasan ilmiah ini sangat perlu kita baca secara
seksama untuk dapat memahami bagaimana proses terjadinya “kemanunggalan” antara
Siva dan Buddha di Indonesia khususnya di Bali, tetapi juga bagaimana
landasannya. Memang para arkeolog senantiasa tercengang melihat Borobudur dan
Prambanan yang tiada tara itu sebagai warisan
budaya agama yang dibangun pada waktu yang hampir bersamaan. Selanjutnya
hadirnya karya sastra Kakawin Sutasoma buah karya Mpu Tantular dari masa
kejayaan kerajaan Majapahit, di mana didalamnya kita dapat membaca pernyataan
tentang “Kemanunggalan Siva dan Buddha” yang kemudian menjadi motto bangsa
Indonesia(Bhineka tunggal ika). Dan kemanunggalan itu terjadi sampai sekarang
di Bali
Prof. Mantra mengawali makalah dengan
menyatakan bahwa sangatlah menarik perhatian kita untuk mengetahui perkembangan
dari kedua agama yaitu Siva- Buddha. di Indonesia dalam sejarahnya di Jawa
Timur. Pertumbuhan hubungan kedua ini lalu menjadi satu, yaitu Siva-Buddha.
Mulai dari permulaan sejarahnya pada waktu Bhudiesme datang ke Indonesia
adalah rapat sekali hubungannya dengan Sivaisme yang sudah datang lebih dahulu.
Akhirnya dalam sejarahnya di Jawa Timur kedua agama tersebut lalu menjadi
tunggal.
Catatan singkat ini tidak bermaksud
mencatat uraian teknis dan sistematis tentang agama Siwa (dalam hal ini Siva
Siddhanta) dan agama Buddha (dalam hal ini Buddha Mahayana) yang disuratkan
dalam tulisan tersebut tetapi hanya mencatat hal-hal umum saja.
Dapat kita pahami bahwa tidaklah
mudah untuk menyatukan dua agama, Siva dan Buddha, Jika tidak terdapat suatu
persamaan dan juga keharmonisan antara dua agama tersebut. Dan ini telah dapat
ditunjukkan mengenai susunan dari kedua ilmu ketuhanan dari agama-agama
tersebut. Dan di samping itu dengan sendirinya juga harus ada suasana hubungan
yang baik antara dua agama tersebut. Di samping itu keduanya pada prinsipnya
erat sekali, meskipun ada perbedaan yang mana sebenarnya pada jiwa keagamaan
tidak ada.
Bahwa Siva-buddha adalah merupakan
suatu yang tunggal (Jinatva Lawan Sivatatva tunggal) dapat di buktikan dari
keterangan-keterangan mengenai kebenaran dari kedua agama ini. Dalam kitab
Bhuwana Sangksepa yang bercorak Siva terdapat keterangan mengenai keadaan
Parama-Tattwa adalah “kebenaran” yang tertinggi dalam agama Siva. Dalam kitab
tersebut diuraikan pula bahwa pada tingkatan Parama-tattwa keadaannya disebut
moksa., yang berarti pembebasan dari semua ikatan serta meniadakan segala
bentuk dan paham (ideas). Dan dalam mengupas selanjutnya tentang keadaan moksa,
maka moksa diuraikan sebagai “niratmakah” (tidak ada Jiwa). Cara analisa
semacam ini adalah juga merupakan cara analisa Buddhis. Jadi keterangan ini
memperkuat dugaan kita bahwa pada tingkatan Niskala (transcendental)
Siwa-Buddha adalah merupakan kebenaran yang tunggal.
Dalam kitab Bhuvana Kosa diterangkan
suatu keadaan Sunya dan Nirwana yang dianggap sebagai moksa, yang mana adalah
wisesa dan disebut Siva. Jadi itu adalah suatu keadaan Siva. (…hana ta papa
sunya ya sinangguh kamoksan, nga. Wisesa ya, ya Siwa ngaranya, sunyasca
nirbanadhikasciwanggatwe…) orang mungki mengira di sini terjadi kekacauan
pemakaian istilah. Nirvana bukanlah hanya dipakai oleh Buddhis, tetapi juga
bisa dipakai dalam kitab-kitab Hindu lainnya, Seperti umpamanya dalam
Bhagawadgita.
Jadi cukup jelas bagi kita bahwa
adanya persamaan dari susunan ilmu ketuhanan dari Siva dan Buddha. titik
pertemuan tersebut terjadi pada tingkatan yang disebut “niskala”.
Pada bagian lain Prof. Mantra
menegaskan bahwa akan lebih mudah kita dapat melihat jalannya proses persatuan
Siva dan Buddha ini, Jika kita kembali pada dasar filsafat keduanya. Mungkin
kita tidak demikian menyadari bahwa Buddha menerima jalan pikiran dari Upanisad
yang menjadi sumber pengetahuan kejiwaan dari kerkembangan Hinduisme
sesudahnya, termasuk Sivaisme, Jadi dasar cara berpikir sebenarnya, buddhisme
bukan merupakan suatu falsafah yang baru atau yang besar bedanya dengan
Upanisad.
Namun dijelaskan pula bahwa persatuan
siva Buddha kalau ditilik secara mendalam adalah mempunyai corak ke
Indonesiaan, Sebagaimana di terangkan oleh Dr. Rasser di mana cerita setempat
(Bubuksah) dapat memberi pengaruh jalannya perkembangan sejarah persatuan dari
Siva dan Buddha. Sifatnya persatuan antara Siva dan Buddha dimana Buddha adalah
saudara yang lebih muda dari Siva tidak terdapat di tempat-tempat lain.
Akibat
dari pengaruh pandangan ini adalah besar sekali hubungan kedua agam ini. Siva
dan Buddha, yaitu hubungan yang erat dan kekeluargaan. Umpamanya pada upaca
keagamaan yang besar di Bali kedua pendeta, Yaitu Siva dan Buddha turut ambil
bagian, dan ini dipandang tidak sempurna, apabila kedua-duanya tidak hadir. Ini
tidak mungkin terjadi di India,
meskipun umpamanya Buddha dianggap sebagai avatara dari Visnu, jadi pada
dasarnya Visnu adalah sama dengan Buddha. Keadaan di Indonesia ialah bahwa di
sini kedua agama itu lebih erat dan lebih kekeluargaan hubungannya dalam
masyarakat, yang disebabkan oleh pandangan hidup masyarakat Indonesia
sendiri.
Akhirnya pernyataan yang kita kutip
berikut ini kiranya merupakan pengejawantahan dari tingkat pemahaman dan
pengahayatan yang tinggi terhadap ajaran Siva dan Buddha : apan tiwas juga
sirang muni Buddha paksa, yan tan wruhing paramatattwa Siwatma marga. Mangkang
munindra sangapaksa Sivatwa yoga yan tan wruhing parama tattwa Jinatwa manda. :
Karena dianggap kurang sempurna bila seorang pandita Buddha tidak mengetahui
ajaran Siva (Hindu) dan sebaliknya pendeta Siva tidak mengetahui ajaran
Buddha”.
No comments:
Post a Comment