ADAT
Para pakar berbeda pendapat mengenai
kapan tradisi satia atau sati mulai dipraktikkan di India. Ada
yang berpendapat tradisi itu telah dilaksanakan pada periode Weda (kira-kira 5500 tahun yang
lalu), ada pula yang berpendapat tradisi itu dimulai setelah munculnya sistem
kasta pada awal abad pertama Masehi. Sati pertama yang terdokumentasikan oleh penulis Barat adalah pada
waktu janda dari Heggadctoma
yang bernama Balakka melakukan sati
pada tahun 908 Masehi. Pada tahun 1510, seorang Portugis menyaksikan seorang
janda dari kalangan ksatria melakukan sati. Sesudah itu seorang
wisatawan Italia menulis laporan panjang lebar tentang upacara sati yang
terjadi di Ikkeri.
Seorang janda brahmana diizinkan
melakukan sati pada tahun 1805 oleh Dewan Purnayya dari pengadilan di Woyeyars. Di Bali tidak
pernah ada janda brahmana yang melakukan sati. Berbeda juga dengan di
Bali, di India jarang sekali janda dari golongan ksatria yang melakukan sati.
Di Bali upacara Satia biasa dilakukan oleh golongan triwangsa atasan, terutama
oleh raja-raja dan memang dalam perkembangannya kemudian hanya keluarga
raja-raja saja yang melakukannya. Sangat berbeda dengan di India yang hanya
janda dari golongan kasta rendahan saja yang melakukan sati, di Bali
upacara satia yang dilaksakan oleh keluarga raja, jarang sekali yang
dilakukan oleh janda raja yang berasal dari prami, tetapi kebanyakan
dilakukan oleh janda-janda raja yang
berasal dari kasta rendahan, atau oleh gendak-gendak raja dan
bahkan oleh pelayan-pelayannya, kendatipun selalu disanjung-sanjung bahwa
perbuatan satia di Bali mencerminkan kesetiaan perempuan Bali terhadap
suaminya.
Upacara sati sangat ditentang
oleh pemimpin-pemimpin terkenal India. Pada tahun 1827, Rajaram
Mohan Roy, melalui organisasi Brahmo Samay berjuang menentang
pelaksanaan sati. Gerakan ini mendapat dukungan dari pemimpin India
lainnya seperti Dayananda Saraswati
dan Gandhi. Karena perjuangan itu pada tahun 1829 sati dilarang
oleh pemerintah Inggris, dengan surat keputusan yang ditanda-tangani oleh Lord William Bentick.
Pelarangan itu tidak serta merta
menghapuskan tradisi sati di India, karena janda yang melakukan sati
mendapat penghomatan yang tinggi di India, dan mendapat gelar sebagai perempuan
yang penuh kebajikan. Patung-patung dan bahkan tempat pemujaan didirikan untuk
menghormati dan memuja janda yang membakar dirinya hidup-hidup bersamaan dengan
pembakaran jenazah suaminya. Seringkali perbuatan sati dilakukan secara
tiba-tiba, tanpa ada yang mengetahuinya terlebih dulu, karena dirahasiakan oleh
janda bersangkutan. Tiba-tiba saja janda itu menceburkan dirinya ke dalam
kobaran api yang membakar jenazah suaminya, tanpa ada upacara khusus seperti di
Bali.
Pengaruh epos Mahabhrata yang sangat
terkenal di India sangat mungkin ikut memberi inspirasi pelaksanaan sati, karena Madri, janda dari Raja Pandu melakukan sati pada
waktu pembakaran jenazah suaminya.
Setelah keluarnya larangan pemerintah
Inggris pada tahun 1829, masih tetap saja
terjadi sati di India. Yang paling menghebohkan adalah upacara sati
yang berlangsung pada tahun 1987, setelah India merdeka. Roop Kumar, seorang janda muda
melakukan sati di Negara bagian Rhajastan.
Para pendukung upacara itu ditahan oleh pemerintah India. Pada tahun 1996
Pengadilan India menyatakan perbuatan sati
adalah perbuatan bunuh diri berdasarkan tradisi sosial kuno dan pengadilan
membebaskan mereka yang membantu Roop Kumar melakukan sati.
Pada tahun 2002 Kuttu Bai, seorang janda dari Negara bagian Madhya Prades, yang berumur 65 tahun,
melakukan sati.
Timbul pertanyaan mengapa
janda-janda itu ”ikhlas” melakukan sati. Dr. (Mrs.) Jyotsna Kamat menegaskan ada tiga pertimbangan
utamanya.
1) Pertimbangan Ekonomi. Masyarakat India adalah masyarakat yang didominasi kaum laki-laki dan
bila sang suami meninggal, jandanya tidak memiliki apa-apa. Memang anak
lelakinya yang akan merawat dan menanggung hidupnya, tetapi kalau keluarganya
sangat miskin dia akan menjadi beban bagi anak-anaknya. Tidak ada jaminan
sosial bagi masa depannya. Jalan yang “terbaik” adalah menjadi Sati.
2) Pertimbangan Sosial. Menjanda
diangggap kutukan di India. Di India
kehadiran seorang janda dalam pergaulan di muka umum dianggap aneh dan kurang
baik oleh masyarakat sekitarnya. Mereka diharapkan selalu diam di rumah,
menjalani hidup menyendiri dan penuh kedukaan. Kehidupan seperti itu pasti
menyengsarakan, dan jalan satu-satunya untuk mengatasinya adalah dengan
melakukan sati.
3) Pertimbangan Religius. Di India
janda-janda yang melakukan sati dihormati oleh lingkungannya, karena
menurut kepercayaan, janda yang melakukan sati akan langsung masuk
sorga. Mereka dianggap menjadi dewi oleh masyarakat lingkungannya. Patung dan
kuil-kuil akan didirikan untuk memujanya. Orang India, terutama perempuannya, meminta
berkah ke kuil itu agar perkawinannya kekal, minta pengobatan atau keturunan.
Tradisi
Sati di Bali
Bagaimana dengan satia atau mesatia di Bali? Tidak diketahui
dengan pasti kapan adat mesatia itu mulai diperkenalkan di Bali. Dalam
catatan-catatan, babad-babad ataupun paswara-paswara tidak ada informasi
pengenai pelaksanaan satia di Bali. Setelah kedatangan orang-orang Eropa, yang kebetulan
menyaksikan dengan mata kepala sendiri pelaksanaan upacara mesatia itu kemudian
menuliskan pengalamannya dan
mempublikasikannya dalam penerbitan-penerbitan khusus, majalah-majalah dan
jurnal-jurnal ilmiah, barulah terungkap ke dunia luar adanya upacara adat mesatia
di Bali dan Bali menjadi “terkenal” sebagai pulau pengorbanan manusia
hidup-hidup atau human sacrifices, karena yang ikut mesatia di Bali
ternyata kebanyakan bukan berasal dari janda-janda raja atau sanak keluarganya,
tetapi oleh gendak-gendaknya, pelayannya, karena mesatia di Bali
sudah menjadi alat untuk menunjukkan tinggi rendah derajat dan gensi seorang
raja.
Mungkin saja adat mesatia ditiru
dari adat sati di India, naka tidak jauh dari kebenaran bahwa adat itu
mulai dilaksanakan di Bali setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun
1343, karena dalam parasasti raja-raja Bali Kuno tidak terdapat uraian yang
memberitakan bahwa upacara mesatia pernah dilakukan.. (Ki Buyut Dalu)
No comments:
Post a Comment