Laporan pandangan mata pertama mengenai
upacara mesatia di Bali terdapat dalam tulisan Jan Oosterwijck mengenai
upacara mesatia di Gelgel pada waktu berlangsungnya upacara pelebon
(pembakaran mayat) ibunda Raja Gelgel
yang berlangsung tanggal 21 dan 22 Maret 1633. Pada waktu itu, sebanyak 22
orang budak perempuannya, penyeroan dalam bahasa Balinya,
melakukan satia.
Jan
Oosterwijck dengan detail mengambarkan upacara yang dilihatnya.
Diceriterakannya bahwa setelah pakaian para sati diganti dengan pakaian
serba putih, tanpa ditutup matanya mereka digiring oleh lima petugas laki-laki
ke tempat mesatia, yang seorang di antara petugas itu akan menjadi
eksekutornya. Beberapa di antara para Sati itu meminta keris dari
eksekutornya, yang dipegangnya dengan tangan kirinya. Setelah mencium kerisnya,
tangan kanannya dilukai dengan kerisnya, meminum darah yang keluar dari lukanya
dan memberi tanda darah di jidatnya dengan jarinya yang berlumuran darah.
Mereka mengembalikan kerisnya kepada eksekutornya, yang segera menikamkannya
pada dadanya, dari arah atas ke bawah, telak ke arah hati, menusuk hatinya.
Menjelang ajalnya mereka masih sempat mencopoti pakaiannya, sehingga telanjang
bulat. Para eksekutornya menerima uang jasa sebanyak dua ratus lima puluh uang kepeng tembaga (pipis
bolong Bali).
Setelah para sati meninggal, para
keluarga dan kerabatnya memandikan mayat-mayat mereka dan sesudah diupacarai
secara agama yang dipimpin oleh pendeta, mayat-mayat itu lalu dibakar. Pada
saat kobaran lidah api menjilat-jilat mayat para sati itu, barulah
jenazah ratu tiba di tempat upacara. Tegasnya para satia itu bukan
istri-istri raja, tetapi para pelayannya. Dengan demikian satia di Bali
tidak sepenuhnya benar sebagai manifestasi kecintaan istri kepada suaminya.
Jan Oosterwijck, selain menuliskan apa
yang dilihatnya sendiri, juga mendapat informasi mengenai pelaksaan satia
yang lain. Antara lain mengenai pelebon
Raja yang sedang memerintah, dengan mengorbankan tidak kurang dari 120, 130 dan
bahkan sampai 140 perempuan yang
“merelakan” dirinya menjadi makanan lidah api, demi pengabdiannya kepada
rajanya. Tanpa ada yang ditikam dengan keris sebelum mesatia, mereka
langsung terjun ke bara api atas “kemauan” mereka sendiri. Dia juga mendapat
informasi bahwa seorang perempuan janda tanpa anak, mohon kepada ayahnya yang
menjadi penguasa di Kuta agar diizinkan mesatia pada pelebon suaminya.
Dia baru tiga bulan kawin dan sangat muda. Ayahnya menyetujuinya karena tindakannya
itu menunjukkan kesetiaanya kepada suaminya.
Dikisahkannya bahwa sepintas lalu tidak
terlihat ada budak perempuan (penyeroan) yang menjadi satia
karena dipaksa. Tetapi bila ada yang berhasil membelot dan berhasil melarikan
diri, dan kemudian tertangkap, nasibnya sudah jelas, dia ditikam sampai mati,
mayatnya diseret di jalan, bangkainya menjadi rebutan anjing-anjing. Kendatipun
Oosterwijck tidak menyebutkan siapa nama Dalem yang sedang menduduki tahta
kerajaan Gegel pada tahun 1633, kejadian itu pasti terjadi pada masa
pemerintahan Dalem Sagening yang memerintah menggantikan kakaknya, Dalem
Bekung, dari tahun 1578 sampai dengan tahun 1665.
Oosterwijck bukanlah seorang turis yang
sengaja berwisata ke Bali untuk menyaksikan upacara spektakuler mesatia.
Dia adalah pegawai V.O.C. dengan pangkat Opperkoopman, seorang Pedagang Kepala, yang diutus ke Bali
pada bulan Februari 1633 oleh Gubernur Jendral, Hendrik Brouwer, dalam usahanya merayu Dalem Bali agar bersedia
menggalang kekuatan bersama dengan
Kompeni untuk berperang melawan Mataram, dan sekaligus minta membeli
laki-laki Bali untuk dijadikan tentara Kompeni. Rayuan itu ditolak oleh Dalem
dan utusan itu pun tidak diterima menghadap Dalem, dengan alasan antara lain
karena ada upacara pelebon ibu kandungnya. Kesempatan menyaksikan
upacara itu tidak disia-siakannya, yang laporannya telah diuraikan secara
singkat di atas.
Kunjungan Oosterwijck dapat dipandang sebagai awal
tercatatnya penjualan orang Bali sebagai budak, kandatipun penjualan budak dari
Bali telah mulai pada abad kesepuluh. Konon Dalem sangat kagum, sangat terkesan
dan terkagum-kagum dengan bunyi letusan bedil yang menggelagar dan mengeluarkan
asap tebal, yang diletuskan oleh para pengawal Oosterwijck. Dalem kemudian
bersedia menukar bedil-bedil itu dengan budak-budak Bali. Terjadilah barter
benda dengan manusia. (Ki Buyut Dalu).
No comments:
Post a Comment