Kesaksian Dubois
(1829)
Pierre Dubois, pegawai pemerintah
Belanda keturunan Belgia atau Perancis, putera dari J.A.Du Bois, Asisten Residen Lampung,
Sumatera, juga bukan seorang turis asing yang sengaja datang ke Bali untuk
menonton pertunjukan masatia. Tetapi di tempat masatia dia
diperlakukan bak seorang turis oleh “guidenya”, I Gusti Made Oka, anak bungsu
dari I Gusti Ngurah Pemecutan, salah seorang raja dari kerajaan Badung pada waktu
itu, yang pelebon-nya berlangsung pada tahun 1829. Dalam pelebon
itu, tujuh perempuan dikorbankan. Dubois tidak merinci siapa-siapa saja mereka
itu, apakah istri, gendak atau sekadar perempuan biasa yang menjadi penyeroan,
pelayan di puri. Tidak lupa I Gusti Made Oka menjelaskan kepada Dubois bahwa
upacara masatia hanya dilangsungkan pada pelebon (pembakaran jenazah)
raja-raja dan keluarganya yang kaya dan berkuasa dan tidak oleh triwangsa
rendahan, apalagi oleh rakyat jelata.
Reportasenya jauh lebih mendetil
dibandingkan dengan paparan Oosterwijck, dan penulisannya pun dilakukan segera
sesudah upacara masatia usai. Benar-benar seperti reportase langsung.
Dubois yang bertempat sementara di Kuta dari April 1827 sampai Mei 1831, tidak
hanya menuliskan pengalaman dan perasaannya sebagai orang Eropa tentang masatia
yang dipandangnya sebagai perbuatan barbar, tetapi dia juga menulis tentang
tugasnya membeli budak Bali sebanyak 1000 sampai 1200 orang. Dia juga
memaparkan pandangannya tentang keadaan sosial ekonomi, politik di Bali,
tentang perbudakan dan pejualan budak, impor dan pejualan candu, konflik dan
peperangan antar raja-raja di Bali, pokoknya tentang masyarakat, budaya dan
agama di Bali. Dia menghadiri upacara masatia itu memang karena diundang
oleh Penguasa Badung.
Berikut adalah cuplikan terjemahan bebas
dari reportasenya mengenai upacara masatia yang disaksikannya.
”Sekarang terlihatlah seorang dari bela (baca: orang yang masatia) berjalan ke ujung jembatan……Semua penonton
menggumamkan kidung pemakaman…..Bela itu melonggarkan ikatan rambutnya,
membiarkannya jatuh terburai
di pundaknya…..Dia menjinjingkan kain sarungnya setinggi lututnya….., menari seperti orang kesurupan…….Ayahnya
memberikan sebilah keris kepadanya. Dia
melukai lengan dan bahunya dengan keris itu…Darah mengucur dari lukanya dan dia memerahkan dahinya dengan
darahnya. Perbuatan itu bertujuan
menunjukkan kepada keluarganya,---yang selalu mendorong-dorongnya untuk ikut masatia dan memberani-beranikan dirinya---, bahwa dia tidak takut pada kematian. Perempuan bela itu ikut
berguman mengikuti gumaman penonton yang
sayup-sayup didengarnya…….Dia kemudian sampai di ujung jembatan…….Dikembalikannya keris yang diberikan oleh ayahnya. Kedua
tangannya lalu ditangkupkannya di
dadanya, lalu dia menceburkan dirinya,--- tubuhnya
tampak oleh penonton hanya sekelebatan saja di udara---, lalu dia langsung jatuh di tumpukan bara api
berkobar-kobar, yang telah siap menunggu kedatangannya. Selusin orang laki-laki, yang mengitari
unggunan api, yang masing-masing telah
siap dengan kayu api dan bambu panjang penuh berisi minyak, segera menyirami tubuh bela itu. Teriakan kegembiraan membahana dari ribuan penonton yang memberkati takdirnya”.
Peristiwa yang paling menyayat hati,
tulis Dubois, adalah ketika bela yang terakhir, seorang perempuan tua,
yang semua rambutnya telah memutih, melakukan tugasnya sebagai bela. Dia
memerlukan waktu kurang dari dua detik menuju ujung jembatan bambu, karena
hanya dengan tiga kali lompatan, dia kemudian langsung menceburkan dirinya ke
tumpukan bara api di bawahnya. Dia hanya seorang babu dari putra mahkota
almarhum yang dipelebon.
Dubois
mengakhiri laporannya dengan nada satir, sinis.
Diutarakannya kegembiraan putra raja setelah upacara usai. I Gusti Made
Oka, putra terbungsu dari raja yang dipelebon, berkata dengan bangganya,
layaknya seorang guide yang jempolan yang telah berhasil memuaskan
tamu-tamunya. Bakat orang Bali dalam bisnis pariwisata agaknya mulai tampak.
“Well, tuan-tuan, tidakkah Anda tercekam
dengan keteguhan hati semua bela? Tak seorangpun takut, semua mereka
menceburkan diri ke bara api dengan begitu indahnya. Para penggede dan penonton
bergembira ria menyaksikan semuanya. Tetapi, marilah kita sekarang pergi dari
sini untuk selanjutnya menikmati santap siang”.
Ada
perbedaan antara pengertian Satia dengan Bela. Menurut R. Friedrich, bela mengacu pada perempuan yang pada waktu pembakaran
suami atau junjungannya menceburkan diri hidup-hidup pada kobaran api tanpa
ditikam dengan keris terlebih dahulu, sedangkan yang melakukan satia
ditikam dengan keris oleh ayah, kakak atau keluarganya sebelum menceburkan
dirinya ke tumpukan bara api. Istiah bela juga dimaksudkan bagi siapa
saja yang memilih ikut mati bersama junjungannya pada perang puputan. (Ki Buyut Dalu)
No comments:
Post a Comment