Sejalan dengan perkembangan
jaman dan perkembangan penduduk yang semakin padat terutama di daerah
perkotaan, menyebabkan lahan menjadi semakin sempit dan semakin berharga. Sebab
itu kini untuk mengadakan pengembangan dan perluasan pemukiman diambil
alternatif lain yaitu dengan cara vertikal yaitu membangun rumah susun atau
rumah bertingkat (flat). Dengan dibangunnya rumah susun atau rumah bertingkat
(flat), sebagian kebutuhan akan perumahan sudah dapat diatasi, namun bagi masyarakat
Hindu di Bali, timbul permasalahan (problema) baru. Masalah (problema) ini
menyangkut masalah tempat membangun Merajan atau Sanggah sebagai tempat suci
untuk menghormati serta memuliakan dan memuja arwah suci nenek moyang atau
Leluhur serta sebagai tempat untuk sembah bakti kepada Sanghyang Widhi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa) dirumah susun atau rumah bertingkat (flat) tersebut.
Rumah susun atau rumah bertingkat (flat) disamping pekarangannya sempit,
sehingga sulit mendapatkan tempat untuk membangun Merajan atau Sanggah,
ditambah lagi bahwa Merajan atau Sanggah itu harus didirikan di tempat yang
dianggap suci. Terutama bagi mereka yang mendapatkan tempat pemukiman di rumah
susun atau rumah bertingkat (flat) pada bagian bawah atau tengah. Jika mereka membangun
Merajan / Sanggah letaknya dimana di atasnya ada kamar mandi/WC. Lain halnya
yang mendapat tempat pemukiman paling atas, mungkin dapat membangun Merajan di
atas pemukimannya atau di lain tempat.
Sedang bagi masyarakat
Hindu di Bali keberadaan Merajan adalah untuk dapat melaksanakan dharma
(kewajiban) selaku parati sentana
(keturunan) terhadap nenek moyang atau leluhur. Apalagi adanya Bhisama (amanat)
dari leluhur yang antara lain mengatakan
demikian: ……yan kita lali lipya maring
kahyanganta, moga kita amungpang laku, akweh prabedannya, hana kena hana keto,
sugih gawe kurang pangan, tan wus apacengilan maring pasanakan, setata enemu
rundah………, Terjemahannya antara lain sebagai berikut: …… apabila kamu lupa
dan lengah terhadap kahyangan (Marajan, Pura Kawitan atau Padharman),
mudah-mudahan tidak menentu jalan hidupmu, banyak halangannya, ada begini ada
begitu, banyak bekerja kurang makan, tidak henti-hentinya cekcok di dalam
keluarga, selamanya merasa gundah………
Oleh karena menemui
kesulitan, maka jalan keluarnya ialah tidak membangun Merajan di rumah susun. Untuk
dapat setiap saat melakukan pemuspaan
(sembahyang) terhadap leluhur dan Ida Sangyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa atau perwjudan
(manifestasi)-Nya, dapat dilakukan dalam bentuk Pelangkiran yang dibuat memakai Rong Tiga, sebagai pengubengan. Sedangkan Merajan di rumah
asal (rumah tua) dijadikan penyungsungan (pemujaan) bersama sanak saudara
lainnya.
Oleh karena pada Merajan
atau Sanggah disamping sebagai tempat suci untuk menghormati serta memuliakan
dan memuja arwah suci nenek moyang atau leluhur, juga disembah Ida Sanghyang
Widhi Wasa dalam berbagai prabhawa
atau perwujudan (manifestasi)-Nya, ada baiknya diungkapkan padangan atau
anggapan mengenai keberadaan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Salah satu sumber dapat
dipakai adalah Prasasti Ki Pasek yang
menguraikan demikian:
2.
b. ……………….. ithi pwa ya mangkewuwusen
maka panganjur ikang kata, uni kata ring acit, duk tan hana paran-paran, tan
hana Surya, Candra, Wintang Bhumi, sakewala hana Sanghyang Embang, Maha Tunggal
Agung Alit, niskala, nirjana, nir wikalpa ira kesatah suddha Dewa Ekam,
Sanghyang Maha Tunggal, warna tan pawarna, tan hana kasmaran mwang kehalingan,
hana saparan-paran anggek. Widhi Tattwa,nya Purana Dewa Tattwa, mwang yan ungguha
ning Aksara Uttama, Windhu kayeki (0), maraga Sanghyang Windu, swaranya kadi
karna kinikup, Widhi, nga, Kawi, Sanghyang Kawi, Windu, nga, embang, nga,
pujung.
3.
a. nging puyung hana angebek, hana
sparan-paran, tan pakawit tan patanggu, tan pawates, alungguh ring Cakrasunya,
Maha Widya, Sanghyang Widhi, Maha Weruh, Maha Karuni, Maha Metri, angada aken
yajna yogha……..
terjemahannya lebih kurang sebagai
berikut :
2. b. …………… inilah sekarang dibicarakan sebagai awal kisah, dahulu pada
zaman bahari, ketika belum ada apa-apa, belum ada Matahari, Bulan, Bintang,
Bhumi, hanya ada Sanghyang Embang, Maha Tunggal Besar Kecil, gaib belum ada
manusia, tidak bersifat ragu-ragu, keadaannya suci ialah Dewa Tunggal disebut
Sanghyang Tunggal, tidak berbentuk, tidak terikat rasa cinta, tidak mempunyai
tempat tinggalnya, dan ada dimana-mana. Riwayat Widhi disebut Purana Dewa
Tattwa, kalau pada huruf utama disebut Windu yaitu kosong (0), adalah Sanghyang
Widhi, suaranya seperti telinga di tutup, Windu adalah Kawi disebut Sanghyang
Kawi, Windu juga berarti kosong.
3. a. Kosong tetapi penuh, ada dimana-mana, tidak ada awal dan tidak ada
akhir, tanpa batas, berada di tempat yang kosong, sangat pandai disebut
Sanghyang Widhi, Maha Tahu, Maha Penyayang, Maha Pengasih kemudian melakukan
yogha samadhi…………..,
Demikian gambaran mengenai Brahman
(Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa) yang memiliki sifat serba Maha yang
berarti tidak bisa dicemari dan berada dimana-mana, baik ditempat suci maupun
di tempat yang tercemar. Apa bila pengertian ini ditelan mentah-mentah dan
dipakai pedoman di dalam menempatkan Merajan atau Sanggah dengan
palinggih-palinggihnya (bangunan sucinya) maka tempat mendidikan Merajan tidak
menjadi persoalan bagi mereka yang bermukim di rumah susun. Namun sebagai
manusia yang tidak sempurna, tetapi memiliki norma-norma yang patut ditaati dan
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, begitu juga dapat memilih
mana yang suci dan mana yang tercemar, maka tidaklah pantas atau etis
menempatkan Merajan. Apakah kita dapat merasakan Merajan yang berada di rumah
susun sebagai tempat suci apabila Merajan itu berada di bawah jamban atau kamar
mandi tetangga di atasnya. Inilah salah satu kendalanya. Oleh karena itu untuk
umat Hindu di rumah susun cukup membuat plangkiran dengan rong tiga untuk
mengayat leluhur. (buyut)
No comments:
Post a Comment