Bendungan Wongan
yang terletak di Desa Adat Tonja, Denpasar Timur sudah terkenal sejak jaman
Dahulu. Terkenal karena bendungan tersebut dapat mengaliri air ke persawahan
yang sangat luas di daerah Denpasar sampai ke selatan. Bendungan ini juga
sangat terkenal sebagai proyek prstisius pada jaman kerajaan Badung terdahulu
dalam rangka meningkatkan produksi pertanian di wilayah kerajaan Badung
terdahulu. Tidak itu saja, bendungan Wongan juga sangat terkenanl dengan
keangkerannya. Kali ini Taksu akan
memberikan gambaran singkat bagiaman sejarah pembangunan bendungan Wongan
tersebut. Ceritanya begini:
Pada masa kerajaan Badung
terdahulu berkuasalah Kyayi Anglurah Jambe Merik yang beristana di Puri Alang
Badung. Setelah sekian lama berkuasa, maka kedudukan beliau Kyayi Anglurah
Jambe Merik diganti oleh putranya, Kyayi Anglurah Jambe Ketewel sebagai Raja
Badung II. Beliau tetap menempati Puri
Alang Badung sebagai pusat pemerintahannnya. Adapun kebijaksanaan beliau ini
tidak berbeda dengan kebijaksanaan ayahnya, maka rakyat Badung merasakan
dirinya diayomi dan karena itu mereka taat sekali pada raja. Pada masa itu,
raja Badung dibantu Ki Saunggaling, yakni yang bertugas melaksanakan sekaligus
menjalankan perintah raja di istana.
Yang menonjol
pada jaman pemerintahan Kyayi Anglurah Jambe Ketewel adalah ide dari Ki
Saunggaling yaitu hendak memperluas persawahan di Kerajaan Badung dengan
memperbesar pengairan. Dan untuk kepentingan itu, direncanakan membuat sebuah bendungan
(dam) agar airnya dapat dialirkan ke bakal persawahan yang baru. Pekerjaan
raksasa itu dimulai dengan mengerahkan ratusan pekerja yang terlibat dalam
pembangunan dam tersebut. Pengerahan
tenaga dilakukan terus menerus, akan tetapi hasilnya menyedihkan. Kegagalan
demi kegagalan menimpa pembangunan dam itu sampai rakyat memperlihatkan
kekecewaannya. Ki Saunggaling sebagai pencetus ide tersebut bertanggung jawab
atas pelaksanaannya, sampai bingung memikirkan kegagalan pekerjaannya.
Berhari-hari Ki Saunggaling memikirkan dan mendoakan agar diberi petunjuk oleh
Ida Sanghyang Widi Wasa. Saking taatnya
Ki Saunggaling berdoa, maka pada suatu malam ia mendapat wahyu dari kekuatan
niskala yang ada di sekitar Sungai Sagsag di mana dam tersebut dibangun. Adapun
wahyu itu menyatakan bahwa bendungan yang akan dibangun itu akan dapat
terlaksana apabila mengunakan “dasar manusia”. Betapa terkejutnya Ki
Saunggaling mendengar pawisik itu. Tidak disangka-sangka bahwa pembangunan bendungan
itu memerlukan manusia sebagai dasarnya. Berhari-hari ia berpikir dengan
istrinya untuk mendapatkan jalan keluar sebagai pemecahannya. Dan akhirnya
selaku orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pembuatan dam tersebut, Ki
Saunggaling mengambil keputusan bahwa ia beserta istrinya yang akan menjadi
dasar bendungan (dam) yang sedang dalam proses pembangunan itu.
Maka pada suatu hari kedua suami
istri itu menghadap raja di Puri Alang Badung. Dengan sembah pendahuluan
kehadapan raja, lalu Ki Saunggaling melaporkan hasil karyanya membangun bendunagn
tersebut, termasuk berbagai hambatan yang terjadi, sampai pada keputusannya
untuk menjadi dasar dam itu. Raja sangat terkejut mendengar laporan serta
keputusan Ki Saunggaling beserta istri untuk menjadi dasar dam yang sedang
dibangun. Beliau menolak keinginan Ki Saunggaling yang sangat setia dan bertanggung jawab akan
tugas. Tetapi ia tetap pada pendiriannya. Raja tidak mampu merubah pendirian Ki
Saunggaling, akhirnya menyerahkan kehendak mereka yang jujur dan tulus ikhlas. Dengan sembah terakhir kepada raja, Ki
Saunggaling lalu mohon diri.
Pada hari itu
juga, tersiarlah kabar bahwa Ki Saunggaling beserta istrinya akan menjadi dasar
dam yang sedang dibangun itu. Banyak orang yang datang pada Ki Saunggaling
untuk menyampaikan keinginannya agar Ki Saunggaling yang dicintainya
mengurungkan keputusannya untuk menjadi dasar dam. Permintaan rakyat itupun
tidak dipenuhinya. Maka pada suatu hari, dengan disaksikan oleh Raja Badung dan
pejabat-pejabat kerajaan serta ratusan rakyat Badung dilaksanakanlah “Upacara
Satya” bertempat di pinggir Tukad Sagsag. Setelah mohon diri kehadapan raja
dengan sembahnya suami-istri Ki Saunggaling menceburkan diri ke dalam sungai.
Adapun tempat satya itu diperkirakan sejauh 75 meter sebelah utara bendungan yang
ada sekarang. Maka untuk menghormati kesetiaan Ki Saunggaling suami istri, nama
Tukad (sungai) serta bendungan (dam) tersebut diberi nama Tukad Wongan, serta Empel
(bendungan / dam Wongan. (Ki Buyut).
No comments:
Post a Comment