Belanda
Menghapuskan Adat Mesatia di Bali
Belandalah
yang menghapuskan adat masatia di Bali dan sama sekali bukan oleh
raja-raja Bali. Di Bali adat masatia
dicekokkan sebagai bagian dari sradha agama Hindu karena memang
direkayasa seperti itu untuk menambah ketakutan rakyat dan keagungan raja yang
menyelenggarakannya dengan kemasan sebagai citra kesetiaan dan cinta perempuan
Bali kepada almarhum suaminya. Kehadiran para pedanda yang muput upacara itu lebih menguatkan persepsi bahwa upacara itu adalah
sebuah upacara agama Hindu. Tetapi teks-teks Weda sama sekali tidak ada memuat
prihal masatia. Berbeda dengan di India, di Bali tidak ada gerakan anti
atas adat itu. Surya Kanta tidak mempermasalahkannya karena adat masatia
telah dihapuskan pada waktu gerakan itu muncul di Bali Utara.
Upacara
masatia yang hampir menimbulkan konflik dan insiden antara Raja Tabanan
dengan pihak Belanda, adalah upacara masatia dalam rangka pelebon
Raja Tabanan, I Gusti Ngurah Agung. Raja yang meninggal pada tanggal 6 Maret
1903, pelebonnya baru dilangsungkan pada tanggal 25 Oktober
1903. Pelebon itu didahului
dengan upacara masatia oleh dua janda raja yang sudah tua-tua.
Pihak
Belanda berpendapat upacara itu bertentangan dengan pri-kemanusian dan tidak
sesuai dengan perkembangan zaman. Belanda berusaha menghalangi dan
menggagalkannya dengan kekerasan dengan unjuk kekuatan pengerahan dua kapal
perang yang berlabuh di pelabuhan Yeh Gangga. Raja Tabanan, Ratu Ngurah Agung,
yang baru saja menggantikan ayahnya menolak keras niat Belanda, karena kalau
upacara masatia sampai dibatalkan, martabatnya sebagai raja akan jatuh
merosot di kalangan raja-raja di Bali dan rakyat Tabanan, karena upacara itu
merupakan lambang kejayaan kerajaan. Di samping itu pembatalan itu akan
menimbulkan kegaduhan karena undangan upacara pelebon dan masatia
sudah disebar-luaskan ke seluruh Bali. Seluruh raja dan pejabat-pejabat penting
di seluruh Bali sudah diundang menyaksikan upacara itu.
Pihak
Belanda dapat memahami alasan itu, tetapi upacara itu hanya boleh dilangsungkan
kalau Raja Tabanan berjanji bahwa segera
setelah upacara usai, dia akan bersedia menandatangani perjanjian dengan pihak
Belanda yang isinya bahwa untuk selama-lamanya dia tidak akan lagi mengadakan
upacara masatia. Raja Tabanan setuju dan upacara berlangsung meriah dan
rakyat mendapat “hiburan” yang dinanti-nantikannya.
Sebagai
konsekuensinya Raja Tabanan menanda-tangani perjanjian dengan pihak Belanda
yang diwakili oleh Residen Bali dan Lombok, J. Eschbach pada tanggal 20 Januari 1904, yang isinya bahwa di
wilayahnya siapa pun tidak akan diijinkan melakukan upacara masatia.
Bunyi teks perjanjian itu adalah sebagai berikut.
Ida Anake Agung ring Tabanan masobaya tiba ring raganiya, mekadi ring
sapranantika turun-turunanniya ngararyanang sane dinane mangkin salwiring solah
krama mesatya-satyaan padem ring jagat Tabanan. Pedagingan saking mangkin Anake
Agung tan wenten pisan ngiclenin malih, wawalun Anake Agung, yadiapin wawalun
sasemetonanniya, yadiapin wawalun sapasira ugi kabasmi sareng ring sawan
lanangniya. Cendeke, Ida Anake Agung, tan wenten pisan nglugrahang malih janma
isapasira ugi padem, nyatianin sawan isapasira jua”.
(Singkatnya,
Penguasa di Tabanan berjanji untuk dirinya sendiri, juga untuk keturunannya,
mulai hari perjanjian menghentikan kebiasaan masatia sampai mati di wilayah
Tabanan. Tegasnya sejak saat itu
penguasa tidak akan mengizinkan siapapun, baik jandanya sendiri, janda–janda
keluarganya, mau pun janda siapa pun untuk mesatia bersama dengan mayat
suaminya. Pendek kata, Penguasa tidak akan menjizinkan manusia siapapun juga,
mesatia dengan mayat siapa pun juga).
Raja-Raja
di Bali memang telah pernah menanda-tangani perjanjian dengan Belanda yang
diwakili oleh J. van Swieten di
rumah Mads Lange di Kuta pada tanggal 13 Juli 1949, tetapi dalam perjanjian itu
tidak ada diatur sama sekali mengenai adat masatia. Yang secara spesifik
telah diatur adalah mengenai penghapusan adat tawan karang di seluruh
Bali dan penghapusan perbudakan, penjualan budak dan ekspor budak dari Bali. Untuk
menghentikan upacara masatia di seluruh Bali, Belanda memaksa raja-raja
Bali lainnya menanda-tangani perjanjian
yang sama substansinya dengan perjanjian dengan Raja Tabanan. Dengan Klungkung
perjanjian itu ditandatangani pada tanggal pada tanggal 23 September 1904, dengan Badung pada tanggal 22
Desember 1904, dengan Bangli pada tanggal 19 Januari 1905. Dengan Buleleng dan
Jemberana tidak perlu diadakan perjanjian tentang penghapusan adat masatia
dan perbudakan, karena telah dihapuskan terlebih dulu oleh van Bloemen Waanders, setelah Buleleng dan Jemberara dijajah
Belanda. Untuk Karangasem dan Gianyar juga
tidak diperlukan perjanjian karena yang berkuasa di kedua bekas kerajaan
itu adalah Kontrolir Belanda yang pasti tidak akan mengizinkan berlangsungnya
upacara mesatia.. Bekas rajanya sudah dijadikan pegawai biasa dengan
sebutan stedehouder yang
berada di bawah pengawasan seorang Kontrolir. Dengan ditanda-tanganinya
perjanjian-perjanjian itu, maka sejak tahun 1905 tidak ada lagi upacara masatia
di Bali.
Mungkin
ada yang ”menyesalkan” mengapa salah satu “budaya bangsa” dan “aset unggulan”
daya tarik pariwisata Bali dihapuskan, sehingga para guide hanya bisa
berceritera saja tentang aib adat masatia yang terjadi pada masa lampau.
Mudah-mudahan saja mereka menceriterakan upacara itu kepada tamunya dengan nada
sedih penuh maaf dan bukan dengan membangga-banggakannya sebagai tanda
kesetiaan perempuan Bali terhadap suaminya. (Ki Buyut Dalu)
No comments:
Post a Comment