Kisah Seputar Metatah
Ada cerita menarik tentang Gus Tut yang mendapatkan
tugas mengasah gigi (istilah lain dari potong gigi/metatah/mempandes). Suatu
hari Ida Bagus Tut Asep Menyan Majegau (nama
imitasi) kedatangan keluarga I
Made Anyung Anyung (karena ia suka mengayung-ngayungkan kemaluannya pada waktu
masih kecil), agar Gustut berkenan nyanggingin
alias natah (mengasah gigi) di
rumahnya tiga hari lagi. Dan sebagai Surya (Siwa), Gustut pastilah berkenan.
Singkat cerita tibalah waktunya untuk acara tersebut.
Ida Bagus Ketut Asep Menyan Majegau sudah siap pagi hari mebersih, menghaturkan
pejati yang dibawa oleh keluarga Made Anyung-Anyung, sekaligus memohon tuntunan
dari Hyang Betara yang melinggih di Merajan. Tak banyak cingcong, Gus Tut
berangkat menuju rumah Made Anyung-Anyung, karena sudah di-pendak (dijemput). Seperi biasa Gustut membawa gegemet yang diwariskan oleh penglinsir di grya agar digunakan
ketika nyanggingin, agar selamat dari
marabahaya niskala.
Dengan penuh percaya diri Gustut menjalankan tugas
sosial sebagai seorang Sangging. Awalnya tak apa-apa, dan semuanya aman-aman
saja. Persiapaan prosesi mulai dilakukan. Gustut naik ke bale tempat metatah. Di sana sudah terpajang kasur,
galeng, dan di atasnya ada telaga
ngembeng. Gustut mulai ngastawa
kehadapan Hyang Betara, dan mulailah anak yang metatah menuju ke bale metatah.
Pada saat itu Gustut yang sudah biasa melakoni pekerjaan ini, kok tiba-tiba
menjadi sedikit tegang. Konsentrasinya goyah tak karuan, namun ia mencoba untuk
tenang dan konsentrasi. Demikian juga dengan kakinya mulai kesemutan, tangannya
sedikit lemas dan gemetaran. Belum lagi peluh matah-matah (keringat dingin)
mengucur deras di sekujur tubuhnya. Gustut mulai sedikit bingung, dalam hatinya
berpikir ada apa ini. Ia berpikir, jangan-jangan ada orang yang mencoba untuk nyengkalen (mencelakai) dirinya dengan
kekuatan ilmu kewisesan. Namun dengan
sedikit saru-saru Gustut mencoba
untuk menenangkan diri dengan cara mengacep dan sedikit minum sambil mencoba
untuk menguatkan kakinya (toh dari mereka tak ada yang tahu persis mengenai
prosesi metatah).
Sambil secara diam-diam meraba gegemet yang ada di pinggangnya (ternyata masih ada), Gus Tut Asep
Menyan Majegau melalui natah dengan
tetap yakin dengan gegemet serta sesuhunan pasti melindungi dirinya.
Gustut sesekali melihat ke samping menoleh orang-orang yang mengelilingi anak
yang metatah. Rata-rata mereka setengah baya ke atas dan tak ada yang
dikenalnya. Hal ini menambah sedikit khawatir dari Gus Tut. Jangan-jangan salah
seorang dari mereka memilki ilmu kewisesan yang tinggi mencoba untuk mencelakai
Sang Sangging dan anak yang metatah. Sebab konon dalam keadaan tertidur
terlentang saat metatah itu seserang yang ingin mencelakai secara niskala
sangat gampang melakukannya. Sehingga sering terdengar bahwa seseorang anak
yang metatah mengalami muntah-muntah, mengalami pingsan (nyelek ati), atau sakit berkepanjangan ketika habis metatah. Hal
itu konon terjadi sesuatu yang bersifat niskala ketika metatah. Oleh sebab
itulah metatah sedikit menegangkan bagi sebagian orang terutama di daerah yang
kental dengan nuansa mistik atau kental dengan konflik keluarga.
Itu pula yang menyebabkan banyak orang menyiapkan
banyak pengabih atau mungkin bekel (jimat) saat metatah. Ada pula
yang mencoba untuk mengalihkan perhatian dari mereka yang inin berbuat jahat dengan cara mengalihkan jam
metatah. Sehingga ada orang yang metatah pada dini hari seperti jam empat jam
lima. Dengan harapan leak yang ingin mecelakai orang metatah maupun Si Sangging
masih tidur atau mungkin mengantuk. Dengan harapan si metatah dan sangging
selamat dari ancaman celaka niskala.
Kembali ke masalah Gustut yang tegang. Gus Tut memang
mengetahui bahwa keluarga dimana tempat ia natahin dikenal masyarakat sebagai
keluarga yang suka memperdalam ilmu kewisesan. Sampai saat terakhir ia natahin,
ketegangannya tak surut juga. Tangannya masih gemetaran (walaupun masih bisa
disembunyikan), dan kakinya yang terasa tetap kesemutan, dengan konsentrasi
yang sedikit buyar, namun ia tetap mencoba untuk konsentrasi.
Kini berakhirlah acara metatah tersebut, berjalan lancar dan aman, tak ada kejadian khusus
yang menimpa si metatah. Gus Tut merasa lega dan merasa sukses, walaupun dalam
dirinya masih berkecamuk tentang pergulatan niskala. I Made Anyung-Anyung pun
menghaturkan suksma kehadapan Gus Tut, dan menyuguhkan suguhan “boga samatra”.
Gustut was-was juga dengan suguhan tersebut (bukan bermaksud untuk mencurigai
Made Anyung-anyung, namun siapa tahu diantara orang yang hadir di sana ada
maksud tak baik). Namun dengan keyakinan dan demi menghormati tuan rumah, maka
Gus Tut ditemani oleh beberapa orang dekat kemudian menyantap boga samatra tersebut dengan senang
hati.
Tak diceritakan dalam pesta akhir metatah tersebut,
Gustut kembali ke grya dengan perasaan lega dan badan segar bugar. Tangannya
tak lagi gemetaran, kakinya tak masih kesemutan, dan pikirannya menjadi tenang
dan segar kembali. Setelah menyantap makanan tersebut. Gustut kembali merasa
aneh dan berpikir, “kok tiba-tiba menjadi segar?”. Ia lalu berpikir di grya.
Dalam renungannya ia mulai tersenyum dan berkata dalam
hatinya “sialan, bukannya saya kena tembak niskala saat natahin. Bukannya gegemet leluhurnya kalah sakti dengan
ilmu orang-oang. Bukannya Ida Betara tak melindungi. Tapi karena tergesa-gesa
dan tegang tadi pagi, akhirnya lupa makan. Rupanya perut lapar menyebabkan
tangan gemetar, kaki semutan, dan pikiran kosong. Sialan ….”
Mendengar kata hati dari Gustut tersebut, mungkin saja
cecak yang ada di tembok berkata dalam hatinya “haa…. Ternyata leak menyerang
perut Gustut namanya Leak Seduk, alias perut lapar. Hahahaaaaa…….” (Ki Buyut
Dalu)
No comments:
Post a Comment