Kesaksian Zollinger ( 1846)
Henrich
Zollinger, berbeda dengan Oosterwijck dan Dubois yang keduanya adalah pegawai
Kompeni, adalah seorang biologis yang
bertugas di kebun raya di Buitenzorg, sekarang Bogor, yang mengunjungi
Bali pada tahun 1848 untuk mengumpulkan contoh-contoh tetumbuhan, yang juga
mempunyai hobi mendaki gunung. Dia menumpang kapal laut yang membawa serdadu
yang melakukan ekspedisi militer terhadap Buleleng, Klungkung dan Karangasem.
Dia
kemudian melanjutkan perjalanannya ke Lombok dengan tujuan yang sama. Di
sanalah dia menyaksikan upacara masatia. Pengalamannya ditulisnya dalam
sebuah laporan dalam jurnal berbahasa Belanda. Diceriterakannya bahwa seorang
Gusti meninggal dunia dengan meninggalkan tiga janda. Salah seorang di
antaranya, yang tidak mempunyai anak, masih muda dan cantik, ingin dibunuh
untuk menunjukkan cintanya kepada almarhum suaminya, dan dengan perbuatannya
itu dia yakin dia akan menjadi istri terpilih yang paling disayangi oleh
suaminya di dunia sana.
Sehari
setelah kematian suaminya, dia mandi berkali-kali, memakai pakaian yang paling
indah, menghabiskan waktunya berhias dan bersenang-senang dengan keluarganya
dan kawan-kawannya, makan yang enak-enak, mengunyah sirih, terus-menerus
bersembahyang, dan terus-menerus mengenakan pakaian putih. Rambutnya dihiasi
bunga kamboja. Dia sangat tenang dan tidak menunjukkan kesedihan atau
penyesalan. Pada hari H masatia, seorang perempuan mendudukkannya di
depan jenazah suaminya. Dia bersembahyang berkali-kali sambil memutar-mutar ke
segala penjuru angin. Sesudah itu dia
berdiri tegak, siap masatia.
Seorang
kakak angkatnya yang berdiri di depannya bertanya dengan nada rendah kepadanya,
apakah dia tetap siap mati. Dia mengangguk. Kakaknya mohon dimaafkan karena
bertugas membunuhnya. Sesudah itu, tiba-tiba keris di tangan kakaknya
menghujam dada kirinya. Tetapi sayang
lukanya tidak terlalu dalam. Janda itu tetap berdiri, dia tidak rebah. Kakaknya melemparkan kerisnya dan lari menjauh dari
tempat masatia. Seorang laki-laki lain sekarang maju, melanjutkan kerja
yang belum selesai. Dia menikam sekeras-kerasnya dada janda yang malang itu.
Janda itu rebah tanpa mengeluarkan jeritan sama sekali. Perempuan-perempuan
yang mengitarinya segera menggulungnya dengan tikar, menekan dengan
sekeras-kerasnya tubuhnya yang terbungkus agar darahnya cepat mengalir keluar.
Ternyata dia masih hidup. Lelaki tadi segera menikam punggungnya di antara
kedua tulang belikatnya. Janda itu segera meninggal dunia.
Zollingger pun menumpahkan kemarahannya
dengan menceriterakan dengan nada satir bahwa para hadirin yang menyaksikan
upacara itu tidak menunjukkan kemarahan ataupun kesedihan dan simpati atas
penyembelihan yang menjijikkan itu. Mereka tertawa riang, santai saja bercakap-cakap
dengan kawan-kawannya, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Lelaki yang menjadi
eksekutor pembantaian juga tenang-tenang saja, membersihkan kerisnya lalu
memasukkannya ke dalam warangka atau sarungnya, seperti dia
habis menyembelih seekor binatang. (Ki Buyut Dalu)
No comments:
Post a Comment